Insya Allah
Pada jaman
dahulu kala, hiduplah seorang petani muda dengan keluarga kecilnya. Petani itu
mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anak pertama berumur 3 tahun.
Sedang anak kedua baru berumur 6 bulan. Petani itu hidup disebuah rumah kecil,
dengan kebun yang agak luas di belakang rumahnya. Di salah satu sisi kebun itu
terdapat sebuah kandang, yang berisi sapi dan ayam-ayamnya.
Petani itu
mempunyai sepetak sawah yang ditanami padi. Kehidupan petani itu ditopang oleh
hasil panen padi, hasil kebun, dan hasil ternaknya. Suatu ketika, terjadilah
serangan hama pada tanaman padinya yang menyebabkan gagal panen. Namun, Sang
Petani tidak putus asa. Pada musim tanam berikutnya, Sang Petani mulai menanam
padi lagi. Berharap pada musim tanam ini, tidak terjadi gagal panen lagi. Namun,
malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Musim kemarau tiba-tiba
melanda desa itu. Pupuslah harapan Sang Petani. Dia tidak bisa hidup hanya
dengan mengandalkan persediaan makan serta hasil kebun dan ternaknya. Sang
Petani pun akhirnya memutuskan untuk mencari penghidupan di kota.
“Istriku,
sudah dua musim panen ini sawah kita tidak menghasilkan apa-apa. Kita tidak
mungkin hanya mengandalkan hasil kebun dan ternak kita. Jadi, ijinkanlah aku ke
kota. Aku akan bekerja , hingga musim hujan tiba. Dan aku akan pulang kembali,
untuk mengerjakan sawah kita,” kata Sang Petani pada istrinya.
Dengan berat
hati, sang istri pun mengijinkan Sang Petani untuk pergi ke kota.
“Rawatlah
anak-anak kita, dengan persediaan makan kita. Mudah-mudahan cukup hingga aku
kembali ke rumah,” sambung Sang Petani.
Setelah
berpamitan pada anak dan istrinya, berangkatlah Sang Petani ke kota. Pagi-pagi
sekali dia berjalan kaki menyusuri jalan desanya, menyeberangi sungai kecil yang
sudah mulai kering, dan terus mencari jalan pintas menuju ke kota.
Di kota, Sang
Petani mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Hingga akhirnya, beberapa bulan
telah berlalu. Ketika sudah tiba musim hujan dan uang hasil jerih payahnya
sudah terkumpul cukup banyak, ia memutuskan untuk pulang. Dibelinya persediaan
makanan, baju untuk anak dan istrinya, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kemudian,
kembalilah Sang Petani ke desanya. Ia berjalan kaki menyusuri jalan yang
dilaluinya ketika berangkat ke kota. Hingga akhirnya, sampailah dia di sungai
kecil yang dulu dilaluinya. Ternyata, sungai kecil itu tidak lagi kering.
Nampak sekali bahwa beberapa hari yang lalu telah turun hujan lebat, dan
menyebabkan banjir, hingga merusakkan separuh jembatan penghubung yang
melintang di atas sungai kecil itu. Dia berpikir, dengan melintasi separuh jembatan
hingga ke tengah, dia tinggal melompat untuk sampai di seberang sungai. Maka,
berjalanlah Sang Petani hingga sampai di tengah jembatan. Dia pun bersiap-siap
hendak melompat. Namun, tiba-tiba muncullah seorang kakek tua di belakangnya. Kakek
tua itu pun bertanya pada Sang Petani.
“Hendak kemana,
Anak Muda?”
Sang Petani
pun kaget, karena tiba-tiba ada suara di belakangnya.
“Oh, Kakek!
Aku hendak pulang ke desaku,” jawab Sang Petani.
“Memangnya dari
mana kau, Anak Muda? Apakah kau tidak melihat bahwa jembatan ini telah rusak?”
tanya kakek tua itu lagi.
“Aku dari
kota. Beberapa bulan yang lalu terjadi kekeringan di desaku. Sehingga, aku mengadu
nasib ke kota. Waktu aku tinggalkan, sungai ini hampir kering. Tapi kini,
sungai ini telah penuh oleh air, dan jembatan di seberang sana telah rusak.
Tapi tak mengapa. Dengan sekali lompat saja, aku akan sampai di seberang sana,”
jawab Sang Petani
“Apakah kau
yakin?” tanya Sang Kakek tua.
“Ya, aku yakin
sekali! Aku akan sampai di ujung sana dan aku bisa segera pulang ke rumah untuk
menemui anak dan istriku,” jawab Sang Petani.
“Insya Allah,
jika Allah mengijinkan,” kata Sang Kakek Tua bijak.
“Aku tidak
peduli, apakah Allah mengijinkan atau tidak, pokoknya aku akan pulang!” Sang
Petani bersikeras.
“Insya Allah,
jika Allah mengijinkan.” kata kakek itu kembali.
Sang Petani mulai
kesal.
“Cerewet sekali
kau, Kakek! Sudahlah, aku akan pulang sekarang!”
Sang Petani pun
melompat. Namun malang, perhitungannya tidak tepat dan dia jatuh ke sungai.
Tanpa diduga, Sang Petani pun berubah menjadi seekor katak.
Dia sangat
menyesal karena telah membantah kata-kata kakek tadi. Dia pun akhirnya mendiami
sungai di bawah jembatan tersebut, sambil merenungi kesalahannya.
***
Beberapa bulan
telah berlalu. Pada suatu ketika, lewatlah seorang pengembara di tempat itu.
Dia mau menyeberangi jembatan itu. Pada saat akan menyeberang, muncullah
seorang kakek tua di tempat itu.
“Mau kemana
kau, Anak Muda?” tanya kakek itu.
“Aku mau
pulang,” jawab Sang Pengembara.
“Tapi,
jembatan ini rusak,” kata Sang Kakek.
“Jembatan ini
adalah jalan pintas menuju desaku. Aku telah lama berada di kota. Aku tak sabar
ingin segera bertemu dengan keluargaku. Jadi, aku harus melewati jembatan ini.
Dengan sekali lompat, aku akan sampai di ujung sana,” kata pengembara itu.
Pada saat itu,
tiba-tiba muncullah seekor katak dari bawah jembatan. Katak itu berkata.
“Insya Allah,
jika Allah mengijinkan,”
Sang Pengembara
terkejut hingga terlompat ke belakang, karena di depannya ada seekor katak yang
bisa berbicara.
Sang Kakek pun
mengatakan hal yang sama.
“Insya Allah, jika Allah mengijinkan.”
Sang Pengembara
pun menirukan kata-kata kakek itu.
“Insya Allah,
jika Allah mengijinkan.”
Seketika,
berubahlah Sang Katak kembali menjadi manusia. Sang Pengembara pun semakin
terkejut. Dia mau bertanya pada kakek tua itu. Namun, Sang Kakek telah
menghilang.
Mereka
kemudian saling memperkenalkan diri. Sang Petani pun menceritakan kisah
hidupnya. Mereka pun bekerja sama untuk bisa melewati sungai itu. Mereka
terpikir untuk menggunakan sebatang bambu untuk melompat.
Akhirnya
mereka pun sampai di seberang sungai. Di pertigaan jalan, mereka berpisah untuk
menuju ke desanya masing-masing.
Sang Petani pun
berjalan kembali menuju ke rumahnya. Dia tak sabar ingin segera melihat
keluarga kecilnya.
Ketika sampai
di depan rumahnya, dia pun berteriak memanggil keluarganya. Keluarganya pun
berhamburan keluar, menyongsong kedatangannya dengan suka cita. Ternyata selama
kepergiannya, anak-anaknya telah tumbuh besar, ternaknya telah bertambah
banyak, dan kehidupan mereka pun menjadi lebih baik sekarang.
(Sumber : Dongeng masa kecil)