Rabu, 05 Juni 2013

Cerpen Kedelapan

Insya Allah

Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang petani muda dengan keluarga kecilnya. Petani itu mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anak pertama berumur 3 tahun. Sedang anak kedua baru berumur 6 bulan. Petani itu hidup disebuah rumah kecil, dengan kebun yang agak luas di belakang rumahnya. Di salah satu sisi kebun itu terdapat sebuah kandang, yang berisi sapi dan ayam-ayamnya.
Petani itu mempunyai sepetak sawah yang ditanami padi. Kehidupan petani itu ditopang oleh hasil panen padi, hasil kebun, dan hasil ternaknya. Suatu ketika, terjadilah serangan hama pada tanaman padinya yang menyebabkan gagal panen. Namun, Sang Petani tidak putus asa. Pada musim tanam berikutnya, Sang Petani mulai menanam padi lagi. Berharap pada musim tanam ini, tidak terjadi gagal panen lagi. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Musim kemarau tiba-tiba melanda desa itu. Pupuslah harapan Sang Petani. Dia tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan persediaan makan serta hasil kebun dan ternaknya. Sang Petani pun akhirnya memutuskan untuk mencari penghidupan di kota.
“Istriku, sudah dua musim panen ini sawah kita tidak menghasilkan apa-apa. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan hasil kebun dan ternak kita. Jadi, ijinkanlah aku ke kota. Aku akan bekerja , hingga musim hujan tiba. Dan aku akan pulang kembali, untuk mengerjakan sawah kita,” kata Sang Petani pada istrinya.
Dengan berat hati, sang istri pun mengijinkan Sang Petani untuk pergi ke kota.
“Rawatlah anak-anak kita, dengan persediaan makan kita. Mudah-mudahan cukup hingga aku kembali ke rumah,” sambung Sang Petani.
Setelah berpamitan pada anak dan istrinya, berangkatlah Sang Petani ke kota. Pagi-pagi sekali dia berjalan kaki menyusuri jalan desanya, menyeberangi sungai kecil yang sudah mulai kering, dan terus mencari jalan pintas menuju ke kota.
Di kota, Sang Petani mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Hingga akhirnya, beberapa bulan telah berlalu. Ketika sudah tiba musim hujan dan uang hasil jerih payahnya sudah terkumpul cukup banyak, ia memutuskan untuk pulang. Dibelinya persediaan makanan, baju untuk anak dan istrinya, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kemudian, kembalilah Sang Petani ke desanya. Ia berjalan kaki menyusuri jalan yang dilaluinya ketika berangkat ke kota. Hingga akhirnya, sampailah dia di sungai kecil yang dulu dilaluinya. Ternyata, sungai kecil itu tidak lagi kering. Nampak sekali bahwa beberapa hari yang lalu telah turun hujan lebat, dan menyebabkan banjir, hingga merusakkan separuh jembatan penghubung yang melintang di atas sungai kecil itu. Dia berpikir, dengan melintasi separuh jembatan hingga ke tengah, dia tinggal melompat untuk sampai di seberang sungai. Maka, berjalanlah Sang Petani hingga sampai di tengah jembatan. Dia pun bersiap-siap hendak melompat. Namun, tiba-tiba muncullah seorang kakek tua di belakangnya. Kakek tua itu pun bertanya pada Sang Petani.
“Hendak kemana, Anak Muda?”
Sang Petani pun kaget, karena tiba-tiba ada suara di belakangnya.
“Oh, Kakek! Aku hendak pulang ke desaku,” jawab Sang Petani.
“Memangnya dari mana kau, Anak Muda? Apakah kau tidak melihat bahwa jembatan ini telah rusak?” tanya kakek tua itu lagi.
“Aku dari kota. Beberapa bulan yang lalu terjadi kekeringan di desaku. Sehingga, aku mengadu nasib ke kota. Waktu aku tinggalkan, sungai ini hampir kering. Tapi kini, sungai ini telah penuh oleh air, dan jembatan di seberang sana telah rusak. Tapi tak mengapa. Dengan sekali lompat saja, aku akan sampai di seberang sana,” jawab Sang Petani
“Apakah kau yakin?” tanya Sang Kakek tua.
“Ya, aku yakin sekali! Aku akan sampai di ujung sana dan aku bisa segera pulang ke rumah untuk menemui anak dan istriku,” jawab Sang Petani.
“Insya Allah, jika Allah mengijinkan,” kata Sang Kakek Tua bijak.
“Aku tidak peduli, apakah Allah mengijinkan atau tidak, pokoknya aku akan pulang!” Sang Petani bersikeras.
“Insya Allah, jika Allah mengijinkan.” kata kakek itu kembali.
Sang Petani mulai kesal.
“Cerewet sekali kau, Kakek! Sudahlah, aku akan pulang sekarang!”
Sang Petani pun melompat. Namun malang, perhitungannya tidak tepat dan dia jatuh ke sungai. Tanpa diduga, Sang Petani pun berubah menjadi seekor katak.
Dia sangat menyesal karena telah membantah kata-kata kakek tadi. Dia pun akhirnya mendiami sungai di bawah jembatan tersebut, sambil merenungi kesalahannya.
***
Beberapa bulan telah berlalu. Pada suatu ketika, lewatlah seorang pengembara di tempat itu. Dia mau menyeberangi jembatan itu. Pada saat akan menyeberang, muncullah seorang kakek tua di tempat itu.
“Mau kemana kau, Anak Muda?” tanya kakek itu.
“Aku mau pulang,” jawab Sang Pengembara.
“Tapi, jembatan ini rusak,” kata Sang Kakek.
“Jembatan ini adalah jalan pintas menuju desaku. Aku telah lama berada di kota. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengan keluargaku. Jadi, aku harus melewati jembatan ini. Dengan sekali lompat, aku akan sampai di ujung sana,” kata pengembara itu.
Pada saat itu, tiba-tiba muncullah seekor katak dari bawah jembatan. Katak itu berkata.
“Insya Allah, jika Allah mengijinkan,”
Sang Pengembara terkejut hingga terlompat ke belakang, karena di depannya ada seekor katak yang bisa berbicara.
Sang Kakek pun mengatakan hal yang sama.
 “Insya Allah, jika Allah mengijinkan.”
Sang Pengembara pun menirukan kata-kata kakek itu.
“Insya Allah, jika Allah mengijinkan.”
Seketika, berubahlah Sang Katak kembali menjadi manusia. Sang Pengembara pun semakin terkejut. Dia mau bertanya pada kakek tua itu. Namun, Sang Kakek telah menghilang.
Mereka kemudian saling memperkenalkan diri. Sang Petani pun menceritakan kisah hidupnya. Mereka pun bekerja sama untuk bisa melewati sungai itu. Mereka terpikir untuk menggunakan sebatang bambu untuk melompat.
Akhirnya mereka pun sampai di seberang sungai. Di pertigaan jalan, mereka berpisah untuk menuju ke desanya masing-masing.
Sang Petani pun berjalan kembali menuju ke rumahnya. Dia tak sabar ingin segera melihat keluarga kecilnya.
Ketika sampai di depan rumahnya, dia pun berteriak memanggil keluarganya. Keluarganya pun berhamburan keluar, menyongsong kedatangannya dengan suka cita. Ternyata selama kepergiannya, anak-anaknya telah tumbuh besar, ternaknya telah bertambah banyak, dan kehidupan mereka pun menjadi lebih baik sekarang.
(Sumber : Dongeng masa kecil)