Jumat, 11 April 2014

Cerpen Ke Enam Belas



NENEK RUMAH SEBELAH
            Selalu ada sesuatu yang tak pernah ketinggalan saat Ramadhan dan Lebaran. Sesuatu yang selalu mengagetkan dan mengganggu pendengaran, apalagi kalau bukan petasan. Seolah tak mengenal waktu, bunyi petasan selalu terdengar di mana-mana. Dulunya, aku tidak pernah mempermasalahkan adanya bunyi petasan. Bahkan, kadang-kadang aku juga ikut-ikutan menyalakan petasan. Asyik juga, sih… Namun, sejak ramadhan tahun lalu, ada rasa sedih dan marah setiap kali mendengar bunyi petasan. Aku pun tak mau lagi ikut-ikutan main petasan.
Masih bisa ku ingat dengan jelas lembaran kisah tahun lalu. Kisah yang dimulai dari sebuah rumah di samping rumahku. Rumah itu sudah lama kosong. Konon kabarnya, sang pemilik rumah telah berpindah serta menetap di kota lain. Rumah itu juga telah dijual kepada orang lain. Namun sampai pada saat itu, pemilik rumah yang baru belum pernah terlihat mengunjungi rumah itu. Rumah itu dibiarkan kosong dan tidak terawat.
Sabtu pagi, kira-kira dua bulan menjelang Ramadhan, ada yang berbeda di rumah kosong sebelah rumah. Tampak beberapa orang memperbaiki dan membersihkan rumah tersebut. Bagian yang rusak diperbaiki dan dindingnya dicat ulang. Rumput ilalang yang selama ini menghiasi halaman pun telah hilang. Beberapa hari kemudian, nampak sebuah pick-up mengangkut barang-barang ke rumah itu. Mungkin pemilik rumah yang baru akan segera menempati rumah tersebut.
Benar saja, sebulan sebelum ramadhan, rumah sebelah tak lagi kosong. Pemiliknya yang baru telah menempati rumah itu. Bapak Herlambang. Demikian nama tetanggaku yang baru. Dua hari setelah kepindahannya, Pak Herlambang mengundang para tetangga ke rumahnya untuk memperkenalkan diri dan keluarganya. Pak Herlambang tinggal di rumah itu bersama ibunya, istrinya, dan seorang anaknya yang masih balita, serta seorang khadimat yang membantu mengurus pekerjaan rumah.
***
Suatu pagi yang cerah. Aku telah bersiap untuk berangkat sekolah. Seperti biasa, aku berjalan kaki ke sekolah. Ketika melewati rumah Pak Herlambang, kulihat di beranda rumahnya ada seorang wanita duduk di kursi roda. Wanita itu bertubuh agak gemuk, berjilbab, dan berkacamata. Ia nampak sibuk dengan sesuatu yang ada di pangkuannya. Itu pastilah ibu Pak Herlambang. Begitu melihatku, ia langsung berkata,
“Selamat pagi, Shalilah…!”
Semula aku tak yakin, apakah nenek itu menyapaku atau orang lain yang bernama Shalihah. Tapi, tak ada orang lain yang lewat selain aku. Mungkin nenek itu menyapaku. Meski ragu, aku pun tersenyum dan mengangguk. Kuteruskan langkahku menuju sekolah dan segera melupakan awal pertemuanku dengan sang nenek pagi itu.
Esok paginya, ketika aku melewati rumah Pak Herlambang, kembali kulihat nenek itu di beranda rumah, masih dengan aktivitas yang sama. Dan hal yang sama terjadi lagi. Nenek itu menyapaku.
“Selamat pagi, Shalihah…!”
Aku kan bukan Shalihah, batinku. Namun aku tetap mengangguk dan tersenyum pada nenek itu.
Kuceritakan pertemuanku dengan sang Nenek pada ibuku. Juga tentang panggilan Shalihah. Ibuku hanya tersenyum dan menyarankan untuk mengatakan pada nenek itu bahwa namaku bukan Shalihah.
Pagi ketiga semenjak pertemuanku dengan sang nenek, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku ingin menyapa nenek itu dulu dan berbincang sedikit dengannya. Paling tidak aku ingin mengatakan bahwa aku bukan Shalihah.
Tepat seperti dugaanku, nenek itu ada di tempat biasa, dan masih sibuk dengan sesuatu yang ada di pangkuannya. Aku segera menyapanya.
“Selamat pagi, Nenek…!” Kataku dengan penuh semangat.
“Selamat pagi, Shalihah…! Pagi sekali?” Tanya nenek.
“Iya, pingin ketemu Nenek sebentar,” kataku sambil melangkahkan kaki ke halaman rumahnya.
Nenek itu menggerakkan kursi rodanya ke depan dan turun dari beranda melalui jalan yang dibuat khusus untuk kursi roda. Ia berhenti tepat di depanku.
“Ada apa, Shalihah?” Tanya nenek.
“Nek, namaku bukan Shalihah.. Namaku Aliyya,” kataku.
“O… Aliyya, ya? Nama yang bagus,” kata nenek itu.
“Nama Nenek siapa?” tanyaku.
“Nama nenek Kinanti,” jawabnya.
“Nenek Kinanti, ya?” tanyaku lagi.
Nenek Kinanti tersenyum dan mengangguk.
Mataku kemudian tertuju pada benda di pangkuannya. Ada benang dan sebuah besi kecil di sana.
“Ini apa, Nek?’ tanyaku ingin tahu.
“Oh.. ini? Ini benang rajut dan besi kecil ini untuk merajut. Begini caranya..” terang Nenek Kinanti sambil mempraktekkan cara merajut.
“Nenek sedang membuat baju hangat untuk cucu Nenek,” lanjutnya.
“Wah… Aliyya jadi pingin ikutan merajut. Lain kali ajari Aliyya ya, Nek…” kataku.
“Boleh…” kata Nenek Kinanti.
“Terima kasih, Nek. Eemmm… Aliyya berangkat dulu ya, Nek. Udah siang, nih!” kataku berpamitan.
“Iya. Hati-hati ya…” jawab Nenek Kinanti.
“Iya. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam…”
Aku pun bergegas berangkat ke sekolah. Senyuman menghiasi bibirku di sepanjang perjalanan, tatkala mengingat percakapan dengan Nenek Kinanti pagi tadi.
***
Pagi berikutnya, kulihat Nenek Kinanti di beranda rumah. Beliau menyapaku seperti biasa.
“Selamat pagi, Shalihah..!”
Lho, Shalihah lagi, batinku. Namun aku tetap tersenyum dan balas menyapa.
“Selamat pagi, Nenek…”
Kemudian di pagi-pagi setelahnya, setiap melewati rumah Pak Herlambang, selalu kudengar sapaan “Selamat pagi, Shalihah”. Dan suatu hari, ketika aku belajar merajut pada Nenek Kinanti, kutanyakan padanya, mengapa beliau selalu memanggilku Shalihah? Beliau menjawab,
“Karena Nenek berharap Aliyya akan terus menjadi seorang anak yang shalihah.”
Ternyata begitu. Ada sebuah harapan dari nama panggilan yang beliau berikan padaku. Sejak itu, aku tidak lagi keberatan jika Nenek Kinanti memanggilku Shalihah.
***
Akhirnya, bulan ramadhan datang. Di bulan ini, ada banyak pahala yang bisa diraih. Orang-orang pun berlomba-lomba untuk beribadah. Masjid pun jadi lebih ramai. Namun, bagi teman-teman sebayaku, termasuk juga aku, bulan ramadhan jadi bulan untuk bermain petasan.
Suatu pagi, ba’da subuh, segerombolan anak berjalan-jalan sambil bermain petasan. Tepat di depan rumah Pak Herlambang, mereka menyalakan sebuah petasan dengan suara cukup keras. Mereka pun tertawa puas dan segera berlalu. Beberapa meter dari rumah Pak Herlambang, mereka melakukan hal yang sama lagi.
Beberapa menit setelah itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di rumah sebelah. Ayah dan ibuku pun segera menuju ke rumah Pak Herlambang. Namun aku tidak begitu peduli karena sedang menyiapkan keperluanku untuk sekolah nanti.
Ayah dan Ibu kembali dari rumah Pak Herlambang ketika aku telah siap dengan seragamku. Mereka membawa sebuah kabar yang cukup mengejutkanku. Nenek Kinanti meninggal karena serangan jantung akibat bunyi petasan yang cukup keras. Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam. Mematung, dengan air mata yang terus mengalir.
Sejak itu, tak ada lagi sapaan “selamat pagi, Shalihah”, tak ada lagi yang memanggilku Shalihah, dan tak ada yang mengajariku merajut. Dan sejak itu pula, aku benci petasan!

Kamis, 03 April 2014

Sebuah Pesan



Suatu ketika, ketika diri telah terlena dengan cinta dunia, ada saja cara Alloh untuk menegur, mengembalikan lagi pada dunia nyata, pada sebuah keinsyafan.
Teguran itu bisa datang dari mana saja. Dari orang tua, murobbi, sahabat, binaan, bahkan dari siswa. Ya, siswa, yang nota bene masih anak kecil, kadang bisa juga menjadi "sarana" Alloh untuk menegur diri ini.
Cerita bermula ketika seorang siswa, dengan takut-takut berkata, "Bu, saya mau kasih masukan, tapi jangan marah, ya.."
Dengan tersenyum, ku jawab, "Iya, Mbak.. Ada apa?"
"Sejak Bu Guru nggak nulis cerpen untuk buletin sekolah, sekarang cerpennya jadi aneh deh, Bu. Jadi cerpen cinta gitu," terangnya.
"Masa, sih?" tanyaku.
"Iya, Bu. Pokoknya ada perjodohan-perjodohan gitu, lho Bu.. Coba dibaca," katanya sambil menyodorkan sebuah buletin padaku.
Ku ambil buletin itu dari tangannya. Dengan cepat ku baca cerpen di sana. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cerpen itu. Justru itu adalah masukan yang bagus untuk para remaja. Tapi memang jika itu dibaca oleh anak-anak kecil, nilai rasanya jadi beda. Cerpen itu memang bukan untuk usia anak-anak yang belum beranjak remaja.
"Najla Berbagi Cerita" (http://www.dakwatuna.com/2013/10/29/41279/najla-berbagi-cerita/#ixzz2xwIQrYoM). Demikian judul cerpen itu. Ada sebuah pesan di situ yang bagi saya itu sangat bagus, sangat "menampar". Ku petik pesan itu, dengan harapan, pesan itu bisa selalu menjadi pengingat ketika diri terjebak dalam kekhilafan.

Untukmu wahai Akhi..
Jika memang cinta dan kau tahu kini belum tepat waktunya, cukup sebut namanya dalam untaian doa. Menghindar tak selalu indikasi benci. Bisa juga usaha menyelamatkan dua hati : hatimu dan hatinya. Bantulah ia dengan tidak lagi menebar perhatian sebelum akad terlisankan.

Untukmu wahai Ukhti..
Aku pun sama sepertimu : seorang perempuan.
Perempuan biasa senang diperhatikan, tapi perempuan luar biasa lebih senang membagi perhatian kepada saudari-saudarinya, kepada keluarganya, serta lebih memilih mencurahkan pikirannya untuk kesejahteraan umat dan untuk dakwah.
Pada saatnya nanti, kita akan curahkan perhatian kita padanya. Pada dia, yang menyandarkan harapan hanya pada-Nya, dia yang mengucurkan cinta sempurna untuk-Nya dan kekasih-Nya. Bukan untuk ia yang mencoba mencelupkan warna kelabu ke dalam beningnya hatimu. Bukan pada ia yang memetik bunga cinta untuk indah sesaat saja. Bukan, bukan padanya, bukan untuknya, bukan baginya. Sama sekali bukan!
Ketahuilah, jika ia benar-benar cinta, ia akan membiarkan dirimu tumbuh dengan ilmu, memupuknya dengan untaian doa, membiarkan tarbiyah mengokohkan akar keimananmu. Dan kelak, di waktu yang tepat, ia akan memilihmu untuk bersama-sama menumbuhkan dan merawat tunas-tunas yang lebih indah dari bunga sejuta warna. Sekali lagi ketahuilah, ia yang mencintaimu, mengetahui kapan waktu yang tepat itu, ia tidak akan tergesa-gesa namun juga tak menunda-nunda.