NENEK RUMAH SEBELAH
Selalu ada sesuatu yang tak pernah
ketinggalan saat Ramadhan dan Lebaran. Sesuatu yang selalu mengagetkan dan
mengganggu pendengaran, apalagi kalau bukan petasan. Seolah tak mengenal waktu,
bunyi petasan selalu terdengar di mana-mana. Dulunya, aku tidak pernah
mempermasalahkan adanya bunyi petasan. Bahkan, kadang-kadang aku juga
ikut-ikutan menyalakan petasan. Asyik juga, sih… Namun, sejak ramadhan tahun
lalu, ada rasa sedih dan marah setiap kali mendengar bunyi petasan. Aku pun tak
mau lagi ikut-ikutan main petasan.
Masih bisa ku ingat dengan jelas lembaran kisah tahun lalu. Kisah
yang dimulai dari sebuah rumah di samping rumahku. Rumah itu sudah lama kosong.
Konon kabarnya, sang pemilik rumah telah berpindah serta menetap di kota lain.
Rumah itu juga telah dijual kepada orang lain. Namun sampai pada saat itu,
pemilik rumah yang baru belum pernah terlihat mengunjungi rumah itu. Rumah itu
dibiarkan kosong dan tidak terawat.
Sabtu pagi, kira-kira dua bulan menjelang Ramadhan, ada yang
berbeda di rumah kosong sebelah rumah. Tampak beberapa orang memperbaiki dan
membersihkan rumah tersebut. Bagian yang rusak diperbaiki dan dindingnya dicat
ulang. Rumput ilalang yang selama ini menghiasi halaman pun telah hilang. Beberapa
hari kemudian, nampak sebuah pick-up
mengangkut barang-barang ke rumah itu. Mungkin pemilik rumah yang baru akan
segera menempati rumah tersebut.
Benar saja, sebulan sebelum ramadhan, rumah sebelah tak lagi
kosong. Pemiliknya yang baru telah menempati rumah itu. Bapak Herlambang.
Demikian nama tetanggaku yang baru. Dua hari setelah kepindahannya, Pak
Herlambang mengundang para tetangga ke rumahnya untuk memperkenalkan diri dan
keluarganya. Pak Herlambang tinggal di rumah itu bersama ibunya, istrinya, dan
seorang anaknya yang masih balita, serta seorang khadimat yang membantu
mengurus pekerjaan rumah.
***
Suatu pagi yang cerah. Aku telah bersiap untuk berangkat
sekolah. Seperti biasa, aku berjalan kaki ke sekolah. Ketika melewati rumah Pak
Herlambang, kulihat di beranda rumahnya ada seorang wanita duduk di kursi roda.
Wanita itu bertubuh agak gemuk, berjilbab, dan berkacamata. Ia nampak sibuk
dengan sesuatu yang ada di pangkuannya. Itu pastilah ibu Pak Herlambang. Begitu
melihatku, ia langsung berkata,
“Selamat pagi, Shalilah…!”
Semula aku tak yakin, apakah nenek itu menyapaku atau orang
lain yang bernama Shalihah. Tapi, tak ada orang lain yang lewat selain aku. Mungkin
nenek itu menyapaku. Meski ragu, aku pun tersenyum dan mengangguk. Kuteruskan
langkahku menuju sekolah dan segera melupakan awal pertemuanku dengan sang
nenek pagi itu.
Esok paginya, ketika aku melewati rumah Pak Herlambang, kembali
kulihat nenek itu di beranda rumah, masih dengan aktivitas yang sama. Dan hal
yang sama terjadi lagi. Nenek itu menyapaku.
“Selamat pagi, Shalihah…!”
Aku kan bukan Shalihah, batinku. Namun aku tetap mengangguk
dan tersenyum pada nenek itu.
Kuceritakan pertemuanku dengan sang Nenek pada ibuku. Juga tentang
panggilan Shalihah. Ibuku hanya tersenyum dan menyarankan untuk mengatakan pada
nenek itu bahwa namaku bukan Shalihah.
Pagi ketiga semenjak pertemuanku dengan sang nenek, aku
sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku ingin menyapa nenek itu dulu
dan berbincang sedikit dengannya. Paling tidak aku ingin mengatakan bahwa aku
bukan Shalihah.
Tepat seperti dugaanku, nenek itu ada di tempat biasa, dan
masih sibuk dengan sesuatu yang ada di pangkuannya. Aku segera menyapanya.
“Selamat pagi, Nenek…!” Kataku dengan penuh semangat.
“Selamat pagi, Shalihah…! Pagi sekali?” Tanya nenek.
“Iya, pingin ketemu Nenek sebentar,” kataku sambil
melangkahkan kaki ke halaman rumahnya.
Nenek itu menggerakkan kursi rodanya ke depan dan turun dari
beranda melalui jalan yang dibuat khusus untuk kursi roda. Ia berhenti tepat di
depanku.
“Ada apa, Shalihah?” Tanya nenek.
“Nek, namaku bukan Shalihah.. Namaku Aliyya,” kataku.
“O… Aliyya, ya? Nama yang bagus,” kata nenek itu.
“Nama Nenek siapa?” tanyaku.
“Nama nenek Kinanti,” jawabnya.
“Nenek Kinanti, ya?” tanyaku lagi.
Nenek Kinanti tersenyum dan mengangguk.
Mataku kemudian tertuju pada benda di pangkuannya. Ada benang
dan sebuah besi kecil di sana.
“Ini apa, Nek?’ tanyaku ingin tahu.
“Oh.. ini? Ini benang rajut dan besi kecil ini untuk merajut.
Begini caranya..” terang Nenek Kinanti sambil mempraktekkan cara merajut.
“Nenek sedang membuat baju hangat untuk cucu Nenek,”
lanjutnya.
“Wah… Aliyya jadi pingin ikutan merajut. Lain kali ajari
Aliyya ya, Nek…” kataku.
“Boleh…” kata Nenek Kinanti.
“Terima kasih, Nek. Eemmm… Aliyya berangkat dulu ya, Nek.
Udah siang, nih!” kataku berpamitan.
“Iya. Hati-hati ya…” jawab Nenek Kinanti.
“Iya. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam…”
Aku pun bergegas berangkat ke sekolah. Senyuman menghiasi
bibirku di sepanjang perjalanan, tatkala mengingat percakapan dengan Nenek
Kinanti pagi tadi.
***
Pagi berikutnya, kulihat Nenek Kinanti di beranda rumah.
Beliau menyapaku seperti biasa.
“Selamat pagi, Shalihah..!”
Lho, Shalihah lagi, batinku. Namun aku tetap tersenyum dan
balas menyapa.
“Selamat pagi, Nenek…”
Kemudian di pagi-pagi setelahnya, setiap melewati rumah Pak
Herlambang, selalu kudengar sapaan “Selamat pagi, Shalihah”. Dan suatu hari,
ketika aku belajar merajut pada Nenek Kinanti, kutanyakan padanya, mengapa
beliau selalu memanggilku Shalihah? Beliau menjawab,
“Karena Nenek berharap Aliyya akan terus menjadi seorang anak
yang shalihah.”
Ternyata begitu. Ada sebuah harapan dari nama panggilan yang
beliau berikan padaku. Sejak itu, aku tidak lagi keberatan jika Nenek Kinanti
memanggilku Shalihah.
***
Akhirnya, bulan ramadhan datang. Di bulan ini, ada banyak
pahala yang bisa diraih. Orang-orang pun berlomba-lomba untuk beribadah. Masjid
pun jadi lebih ramai. Namun, bagi teman-teman sebayaku, termasuk juga aku, bulan
ramadhan jadi bulan untuk bermain petasan.
Suatu pagi, ba’da subuh, segerombolan anak berjalan-jalan
sambil bermain petasan. Tepat di depan rumah Pak Herlambang, mereka menyalakan
sebuah petasan dengan suara cukup keras. Mereka pun tertawa puas dan segera
berlalu. Beberapa meter dari rumah Pak Herlambang, mereka melakukan hal yang
sama lagi.
Beberapa menit setelah itu, tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di rumah sebelah. Ayah dan ibuku pun segera menuju ke rumah Pak Herlambang.
Namun aku tidak begitu peduli karena sedang menyiapkan keperluanku untuk
sekolah nanti.
Ayah dan Ibu kembali dari rumah Pak Herlambang ketika aku
telah siap dengan seragamku. Mereka membawa sebuah kabar yang cukup
mengejutkanku. Nenek Kinanti meninggal karena serangan jantung akibat bunyi
petasan yang cukup keras. Mendengar itu, aku hanya bisa terdiam. Mematung,
dengan air mata yang terus mengalir.
Sejak itu, tak ada lagi sapaan “selamat pagi, Shalihah”, tak
ada lagi yang memanggilku Shalihah, dan tak ada yang mengajariku merajut. Dan
sejak itu pula, aku benci petasan!