Kamis, 26 Desember 2013

Cinta Pada Sebuah Masa



Seiring putaran waktu
Ada yang berbeda di khasanah hatiku
Ada sesuatu yang menggelitik qolbuku
Ada keindahan di setiap angan tentangmu
Ya, aku telah mencintaimu
Ku cintai kau dengan caraku
Ku dekati kamu dengan caraku
Dan ku masuki kehidupanmu dengan caraku pula
Namun ternyata
Semua hanya berbuah hampa
Hingga kelelahan menerpa
Dan terputuslah sebuah asa
Untukmu, tak lagi ada cinta

Jumat, 06 Desember 2013

Cerpen Ke tiga belas



PENGGEMBALA KAMBING

Satu bulan yang lalu, aku dan keluargaku menempati rumah kami yang baru. Kami sekeluarga pindah ke sini sejak ayah memutuskan untuk mendirikan sebuah klinik kecil di desa ini. Masyarakat di sini tergolong masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Ayah ingin membantu masyarakat desa yang tidak mampu agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Tak hanya menempati rumah yang baru, aku pun harus berpindah ke sekolah baru, dengan teman-teman yang baru pula. Di sini, tidak susah bagiku untuk menemukan teman baru, karena teman-teman di sini sangat ramah dan menyenangkan. Jadi, aku bisa dengan mudah berteman dengan mereka.
Sekolahku yang baru lumayan dekat. Hanya sekitar sepuluh menit dari rumahku. Aku berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan teman-temanku.
Sejak kepindahanku ke rumah ini, tiap pagi atau sore hari, aku melihat seorang wanita paruh baya melewati depan rumahku. Dia selalu mengenakan kostum yang sama. Rok panjang, kaos lusuh, jilbab kaos, sandal jepit, dan sebuah caping bertengger di atas kepalanya. Di tangan kanannya selalu tertenteng tas plastik berisi botol minuman dan di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat kecil dari bambu kuning. Ia berjalan di belakang kambing-kambingnya. Paling tidak ada 4 kambing besar dan 6 kambing kecil di depannya. Semua tampak gemuk dan terurus.
Wanita itu selalu berjalan dengan menundukkan kepala. Tak ada suara, tak ada sapaan, dan tak ada senyuman. Sesekali tangannya menggerakkan tongkat untuk menghalau kambing-kambingnya yang nakal agar kembali ke barisannya.
Teman-teman di sekolahku mengatakan bahwa wanita itu gila. Dia menjadi seperti itu sejak ia mengalami kecelakaan. Dalam kecelakaan itu, suami dan anaknya meninggal dunia. Teman-teman menyuruhku berhati-hati bila bertemu dengannya, sebab ia bisa saja mengejarmu sampai dapat dan memukulmu dengan tongkatnya. Akhirnya aku pun jadi takut bila bertemu dengan wanita itu.
***
Hari minggu yang cerah. Ketika kubuka jendela kamar, terlihat pemandangan yang sangat luar biasa! Hal yang tak pernah kulihat di kota tempat tinggalku sebelumnya. Aku pun tertegun di jendela kamar.
Hari ini kulihat banyak sekali kupu-kupu berwarna kuning beterbangan. Di setiap pohon atau bunga, selalu terlihat kupu-kupu hinggap. Tak jarang pula terlihat kupu-kupu itu sedang berkejaran dalam sebuah kelompok besar. Atau mungkin juga mereka sedang menari bersama-sama, pikirku sambil tersenyum. Aku jadi ingin menangkap dan memelihara kupu-kupu.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Khadimatku datang dengan sapu di tangan. Tiap pagi dan sore, ia selalu menyapu lantai tiap ruangan di rumahku. Kutanyakan padanya tentang kupu-kupu di luar sana. Ia katakan bahwa hanya pada saat tertentu saja kupu-kupu muncul banyak sekali. Tapi setelah ada banyak kupu-kupu, pasti nanti akan ada banyak ulat. Hiiii…..!! Aku jadi merinding.
***
Satu minggu berlalu dan benar juga kata khadimatku. Hari ini Pohon Johar di samping rumahku terlihat tak seperti biasa. Daunnya makin sedikit. Setelah kuperhatikan, ternyata ada banyak ulat di sana! Dan sepanjang perjalananku ke sekolah, kulihat banyak pohon yang mengalami hal yang sama : ada ulat berpesta di tiap daunnya.
Ternyata kehadiran ulat-ulat itu dimanfaatkan oleh anak-anak lelaki untuk menakuti anak-anak perempuan. Ketika pulang sekolah, segerombolan anak lelaki membawa setangkai daun Johar di tangannya. Daun-daun itu dipenuhi ulat! Kontan saja anak-anak perempuan menjerit dan berlari berhamburan, termasuk aku.
Aku berlari sekuat tenaga, agar tak terkejar oleh anak-anak lelaki yang membawa ulat. Keinginanku cuma satu : sampai di rumah secepatnya. Tapi pada saat yang sama, di depan sana kulihat wanita penggembala kambing itu berjalan kearah kami. Aku bingung. Aku harus berhenti atau terus berlari. Jika aku berhenti, aku takut dengan ulat-ulat itu. Tapi jika aku terus berlari, aku takut wanita itu akan memukulku jika aku lewat didekatnya. Dalam kebingungan, aku pun tak lagi berkonsentrasi pada jalanan. Tiba-tiba saja kakiku terantuk sebuah batu. Aku terjatuh. Teman-temanku menoleh, tapi mereka terus berlari, dan tak ada yang menolongku.
Aku meringis kesakitan dan mencoba berdiri. Ketika kudongakkan kepala, wanita itu berlari kearahku sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Pastilah ia akan memukulku, pikirku. Aku pasrah. Kutelungkupkan kepalaku, bersiap menerima pukulan. Namun langkah kaki itu melewatiku. Tak berapa lama terdengar teriakan anak-anak lelaki dan suara kaki-kaki berlarian menjauh.
Aku menoleh. Mencoba melihat apa yang terjadi. Ternyata, anak-anak lelaki berlari ketakutan karena akan dipukul oleh wanita itu. Wanita itu kemudian mendekatiku, memegang lenganku, dan membantuku berdiri. Tanpa kata dan tanpa senyuman. Setelah itu, ia segera berlalu.
Aku bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ketika tersadar, aku segera memanggilnya.
“Ibu!” teriakku.
Wanita itu menoleh.
“Terima kasih….” kataku.
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia memutar badannya dan segera berjalan di belakang kambing-kambingnya.
Hari ini, baru aku tahu. Wanita itu sebenarnya baik dan ia tidak gila. Dia tidak akan menyakiti anak-anak. Dia hanya memukul anak-anak yang nakal. Dan mulai hari ini, aku tidak perlu lagi takut padanya.