PENGGEMBALA KAMBING
Satu bulan yang lalu, aku dan keluargaku menempati
rumah kami yang baru. Kami sekeluarga pindah ke sini sejak ayah memutuskan
untuk mendirikan sebuah klinik kecil di desa ini. Masyarakat di sini tergolong
masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Ayah ingin membantu
masyarakat desa yang tidak mampu agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai.
Tak hanya menempati rumah yang baru, aku pun harus
berpindah ke sekolah baru, dengan teman-teman yang baru pula. Di sini, tidak
susah bagiku untuk menemukan teman baru, karena teman-teman di sini sangat
ramah dan menyenangkan. Jadi, aku bisa dengan mudah berteman dengan mereka.
Sekolahku yang baru lumayan dekat. Hanya sekitar
sepuluh menit dari rumahku. Aku berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan
kaki bersama dengan teman-temanku.
Sejak kepindahanku ke rumah ini, tiap pagi atau sore
hari, aku melihat seorang wanita paruh baya melewati depan rumahku. Dia selalu mengenakan
kostum yang sama. Rok panjang, kaos lusuh, jilbab kaos, sandal jepit, dan
sebuah caping bertengger di atas kepalanya. Di tangan kanannya selalu
tertenteng tas plastik berisi botol minuman dan di tangan kirinya tergenggam sebuah
tongkat kecil dari bambu kuning. Ia berjalan di belakang kambing-kambingnya.
Paling tidak ada 4 kambing besar dan 6 kambing kecil di depannya. Semua tampak
gemuk dan terurus.
Wanita itu selalu berjalan dengan menundukkan
kepala. Tak ada suara, tak ada sapaan, dan tak ada senyuman. Sesekali tangannya
menggerakkan tongkat untuk menghalau kambing-kambingnya yang nakal agar kembali
ke barisannya.
Teman-teman di sekolahku mengatakan bahwa wanita
itu gila. Dia menjadi seperti itu sejak ia mengalami kecelakaan. Dalam
kecelakaan itu, suami dan anaknya meninggal dunia. Teman-teman menyuruhku berhati-hati
bila bertemu dengannya, sebab ia bisa saja mengejarmu sampai dapat dan
memukulmu dengan tongkatnya. Akhirnya aku pun jadi takut bila bertemu dengan
wanita itu.
***
Hari minggu yang cerah. Ketika kubuka jendela
kamar, terlihat pemandangan yang sangat luar biasa! Hal yang tak pernah kulihat
di kota tempat tinggalku sebelumnya. Aku pun tertegun di jendela kamar.
Hari ini kulihat banyak sekali kupu-kupu berwarna
kuning beterbangan. Di setiap pohon atau bunga, selalu terlihat kupu-kupu
hinggap. Tak jarang pula terlihat kupu-kupu itu sedang berkejaran dalam sebuah
kelompok besar. Atau mungkin juga mereka sedang menari bersama-sama, pikirku
sambil tersenyum. Aku jadi ingin menangkap dan memelihara kupu-kupu.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Khadimatku datang
dengan sapu di tangan. Tiap pagi dan sore, ia selalu menyapu lantai tiap
ruangan di rumahku. Kutanyakan padanya tentang kupu-kupu di luar sana. Ia
katakan bahwa hanya pada saat tertentu saja kupu-kupu muncul banyak sekali. Tapi
setelah ada banyak kupu-kupu, pasti nanti akan ada banyak ulat. Hiiii…..!! Aku
jadi merinding.
***
Satu minggu berlalu dan benar juga kata khadimatku.
Hari ini Pohon Johar di samping rumahku terlihat tak seperti biasa. Daunnya
makin sedikit. Setelah kuperhatikan, ternyata ada banyak ulat di sana! Dan
sepanjang perjalananku ke sekolah, kulihat banyak pohon yang mengalami hal yang
sama : ada ulat berpesta di tiap daunnya.
Ternyata kehadiran ulat-ulat itu dimanfaatkan oleh
anak-anak lelaki untuk menakuti anak-anak perempuan. Ketika pulang sekolah, segerombolan
anak lelaki membawa setangkai daun Johar di tangannya. Daun-daun itu dipenuhi
ulat! Kontan saja anak-anak perempuan menjerit dan berlari berhamburan,
termasuk aku.
Aku berlari sekuat tenaga, agar tak terkejar oleh
anak-anak lelaki yang membawa ulat. Keinginanku cuma satu : sampai di rumah
secepatnya. Tapi pada saat yang sama, di depan sana kulihat wanita penggembala
kambing itu berjalan kearah kami. Aku bingung. Aku harus berhenti atau terus
berlari. Jika aku berhenti, aku takut dengan ulat-ulat itu. Tapi jika aku terus
berlari, aku takut wanita itu akan memukulku jika aku lewat didekatnya. Dalam
kebingungan, aku pun tak lagi berkonsentrasi pada jalanan. Tiba-tiba saja
kakiku terantuk sebuah batu. Aku terjatuh. Teman-temanku menoleh, tapi mereka
terus berlari, dan tak ada yang menolongku.
Aku meringis kesakitan dan mencoba berdiri. Ketika
kudongakkan kepala, wanita itu berlari kearahku sambil mengacung-acungkan
tongkatnya. Pastilah ia akan memukulku, pikirku. Aku pasrah. Kutelungkupkan
kepalaku, bersiap menerima pukulan. Namun langkah kaki itu melewatiku. Tak
berapa lama terdengar teriakan anak-anak lelaki dan suara kaki-kaki berlarian
menjauh.
Aku menoleh. Mencoba melihat apa yang terjadi.
Ternyata, anak-anak lelaki berlari ketakutan karena akan dipukul oleh wanita
itu. Wanita itu kemudian mendekatiku, memegang lenganku, dan membantuku
berdiri. Tanpa kata dan tanpa senyuman. Setelah itu, ia segera berlalu.
Aku bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ketika
tersadar, aku segera memanggilnya.
“Ibu!” teriakku.
Wanita itu menoleh.
“Terima kasih….” kataku.
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia
memutar badannya dan segera berjalan di belakang kambing-kambingnya.
Hari ini, baru aku tahu. Wanita itu sebenarnya baik
dan ia tidak gila. Dia tidak akan menyakiti anak-anak. Dia hanya memukul
anak-anak yang nakal. Dan mulai hari ini, aku tidak perlu lagi takut padanya.