Jumat, 30 Agustus 2013

Cerpen Ke sembilan



SHE LIN DAN BUAH ANGGUR
Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, memecah kesunyian di pagi buta. Suara binatang malam pun tenggelam oleh suara derit roda perigi yang berputar, gemericik air yang terpercik, gemeretak kayu yang terbakar api, dan kelontang alat dapur yang beradu.
She Lin menggeliat dan perlahan membuka matanya.
“Aaaahhhh…. Sudah waktunya bangun,” kata She Lin sambil menguap.
Setelah beberapa kali menggeliat dan menguap, She Lin bergegas bangkit dari ranjangnya sambil mengucek kedua matanya. Ia melangkah ke luar dari biliknya menuju ke perigi di belakang rumah. She Lin mengambil beberapa timba air untuk membersihkan diri. Setelah itu, She Lin bergegas menyiapkan segala sesuatu dan bersiap  menuju ke ladangnya.
She Lin mengerjakan segala sesuatu seorang diri, karena ia hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal dunia dua tahun yang lalu karena wabah penyakit yang melanda desanya. She Lin menggantungkan kehidupannya pada hasil ladang peninggalan orang tuanya.
Sepeninggalan orang tuanya, She Lin belajar menjadi seorang petani yang rajin dan mandiri. Ia menanam berbagai jenis buah dan sayuran di ladangnya yang cukup luas. Setiap pagi ia menuju ke ladangnya, memeriksa tanamannya, memetik buah atau sayur yang telah siap panen, dan membawanya ke pasar. Dari situlah ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila hasil panennya berlebih, She Lin tak segan membaginya dengan para tetangga dan sahabatnya.
Suatu ketika, pohon delima di ladangnya berbuah. Ia memutuskan untuk memetik beberapa buah delimanya yang cukup besar dan merah merona, kemudian menghadiahkannya pada Sang Raja. Dengan mengendarai kuda, She Lin berangkat ke istana menemui Sang Raja. Sang Raja sangat senang menerima buah delima pemberian She Lin. Sang Raja pun memberi She Lin hadiah yang cukup banyak sebagai ucapan terima kasihnya. She Lin pulang dengan perasaan bahagia.
Selang beberapa waktu kemudian, lobak Cina di ladang She Lin telah siap di panen. Ia pun berencana memberikan sekeranjang penuh buah lobak Cina yang cukup besar dan segar kepada Sang Raja. Ketika ia telah siap untuk berangkat ke istana, seorang tetangga She Lin melihatnya dan bertanya,
“Hendak kemana engkau, She Lin?”
“Aku akan ke istana untuk memberikan lobak-lobak ini pada Sang Raja,” jawab She Lin.
“Apakah lobak-lobak ini pantas diberikan pada Sang Raja? Sungguh sangat memalukan! Lebih baik, kau berikan sesuatu yang manis dan mahal untuk Sang Raja. Belilah sekeranjang buah anggur dan berikan pada Sang Raja,” kata tetangganya.
She Lin pun bimbang. Ia merasa telah memilihkan lobak Cina yang terbaik untuk Sang Raja. Namun akhirnya, ia mengurungkan niatnya untuk memberikan lobak-lobaknya pada Sang Raja. Ia pun pergi ke pasar untuk membeli sekeranjang buah anggur yang terbaik dan segera berangkat ke istana.
Ketika She Lin sampai di istana, ternyata Sang Raja sedang murka. Raut mukanya terlihat sangat menakutkan, hingga siapa pun tidak berani untuk melihat wajahnya. Hati She Lin menciut. Dengan gemetar, ia menyampaikan maksud kedatangannya, sambil menyerahkan sekeranjang buah anggur kepada Sang Raja.
Bukannya berterima kasih dan memberi hadiah, Sang Raja malah melampiaskan kemarahannya pada She Lin. Sang Raja mengusir She Lin dan menyuruh para pengawal untuk melemparinya dengan buah anggur yang dibawa She Lin.
She Lin pun berlari keluar. Dan setiap kali anggur-anggur itu mengenai tubuhnya, She Lin berkata,
“Semoga Tuhan memberimu pahala, Tetanggaku yang baik!”
“Semoga Tuhan memberimu kekayaan yang melimpah, Tetanggaku yang baik!”
Mendengar perkataan She Lin, Sang Raja heran dan menyuruh sang pengawal menghentikan lemparannya pada She Lin. Sang Raja pun bertanya,
“Mengapa engkau berkata seperti itu?”
Sambil meringis menahan sakit, She Lin berkata, “Tuanku, kemarin hamba telah memanen lobak-lobak hamba. Hamba berniat memberikan lobak Cina yang besar dan segar pada Paduka. Namun, tetangga hamba mengatakan bahwa memberikan lobak Cina pada Paduka adalah hal yang memalukan. Maka, ia menyarankan untuk memberikan sekeranjang buah anggur yang manis pada Paduka.”
She Lin menghela nafas sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya.
“Jika saja hari ini hamba memberikan lobak Cina pada Paduka, maka tulang-tulang hamba pasti sudah remuk, karena dilempari lobak Cina yang besar-besar. Bukankah sudah seharusnya saya berterima kasih pada tetangga hamba dan mendoakan kebaikan untuknya?”
Mendengar jawaban She Lin, Sang Raja pun tersenyum dan mengangguk-angguk senang. Ia sangat takjub mendengar jawaban She Lin yang menggelikan namun masuk akal. Kemarahan Sang Raja pun akhirnya hilang dan berganti dengan kegembiraan. Sang Raja kemudian memberikan hadiah sekantung uang emas pada She Lin dan berterima kasih. She Lin pun kembali ke desanya dan membagi kebahagiaannya dengan para tetangganya.