KELINCIKU
Siang ini panas
sekali!! Panasnya membuat kepala pening dan tenggorokan kering. Rumahku yang
hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari sekolah, menjadi terasa jauh sekali.
Kupercepat langkahku
sambil sesekali tanganku menyeka peluh didahiku dengan tissue. Berharap aku
bisa segera sampai di rumah, meminum segelas es teh manis, menyalakan kipas
angin, dan merebahkan badan di kamar.
Seulas senyum
mengembang di depan pintu ketika aku memasuki pagar rumah. Wajah kecil itu terlihat
gembira melihat kedatanganku. Sepertinya, dia memang sengaja menunggu di situ. Sebuah
salam berbalas terucap ketika aku memasuki rumah. Kemudian tubuh mungil itu
membuntutiku memasuki kamar.
“Kakak capek?”
tanyanya.
“Lumayan…” jawabku
sambil meletakkan tas di meja belajarku.
Kubuka lemari
pakaian dan mengambil baju ganti. Kulihat adikku masih terus memperhatikan
aktivitasku sambil tak henti-hentinya menyungging senyum.
“Ada apa sih, dari
tadi senyum-senyum terus?” Jawabku.
“Sini, deh..!”
Baju ganti yang
sudah kuambil urung kupakai dan kuletakkan begitu saja di atas tempat tidur, karena
tangan kecil itu telah terburu-buru menarikku serta membawaku ke belakang
rumah.
Setengah berlari aku
mengikutinya dan menghentikan langkahku tepat dibelakangnya ketika dia
menghentikan langkahnya.
“Lihat!” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah
kandang.
Mataku mengikuti
arah telunjuknya serta langsung membulat dan berbinar. Di dalam kandang ku
lihat dua ekor makhluk berbulu coklat, berbulu lebat, dan bertelinga panjang sedang
sibuk makan.
“Waaahh… Kelinci!”
pekikku kegirangan.
Tanpa ditanya, adik
kecilku langsung bercerita. Tadi, sepulang sekolah, dia ikut ibu melihat-lihat
bunga di pameran flora dan fauna di Gedung Bentara Budaya. Ibu mau menambah
koleksi anggreknya. Ketika ibu sedang asyik melihat-lihat anggrek, adikku
berkeliling ke semua tempat pameran, hingga dia tiba di bagian fauna. Adikku
pun takjub dengan hewan-hewan di situ. Ikan, hamster, kelinci, ular, dan
burung. Dia tertarik untuk memiliki hewan-hewan itu, kecuali ular. Akhirnya dia
menjatuhkan pilihannya pada dua kelinci jenis Lion ini.
“Kelinci yang ini punyaku,” kata adikku sambil
menunjuk ke arah kelinci yang berwarna coklat mulus.
“Yang ada belangnya
punya Kakak,” tambahnya.
“Waahh… Kita
pelihara bareng-bareng, ya… Nanti kita tanya ayah bagaimana caranya,” kataku.
“Oke…!!” jawab
adikku senang.
Terlupakan sudah
keinginanku untuk minum segelas es teh manis, menyalakan kipas angin, dan merebahkan
badan di kamar. Siang itu akhirnya aku dan adikku asyik bermain-main dengan
kelinci baruku.
Kelinci-kelinci itu
kami beri nama Cimon dan Cimot, karena mereka lucu dan montok. Sejak hari itu,
kesibukan kami bertambah. Memberi makan kelinci, memberi sedikit minum, dan membersihkan
kandang. Kata ayah, kelinci termasuk binatang pengerat. Dia bisa makan sayuran,
biji-bijian, dan umbi-umbian. Jadi Cimon dan Cimot kami beri makan kangkung,
wortel, ketela, singkong, dan dedak secara bergantian. Karena makanan kelinci
sudah mengandung banyak air, maka minumnya sedikit saja dan dicampur sedikit
garam, biar nggak bloat alias
kembung.
Tiap hari minggu
Cimon dan Cimot ditimbang dan dikeluarkan dari kandang, supaya mereka bebas
berlarian. Kata ayah namanya excercise.
Hehe.. lucu ya, istilahnya?
***
Suatu hari, pada minggu
pagi yang cerah, aku sekeluarga menghadiri acara pernikahan sepupuku. Kami
pergi sampai hari menjelang sore. Hari itu aku benar-benar melupakan
kelinci-kelinciku. Ketika menginjakkan kaki kembali di teras rumah, aku baru
ingat dengan kelinci-kelinciku. Aku pun lari ke belakang rumah. Kulihat kandang
kelinciku kosong. Pintu kandang telah terbuka dengan lebarnya.
“Ayaaah…! Kelinciku
hilaaangg…!” jeritku.
Semua orang dalam
rumah pun berhamburan keluar mendengar jeritanku.
“Hilang bagaimana??”
tanya ayah.
“Ya, hilang…!! Tuh,
kandangnya kosong!” kataku hampir menangis.
“Mungkin tadi Kakak
lupa nutup pintu kandang….?”
“Gak tau…!”
“Ya, sudah...
Mumpung belum gelap, ayo kita cari! Mudah-mudahan masih ketemu..” kata Ayah
bijak.
Sore itu pun kami
bergerilya mencari-cari kelinci. Baru menjelang adzan maghrib, dua makhluk itu
kami temukan tengah asyik makan di kebun belakang. Dan setelah diingat-ingat,
ternyata kesalahan ada padaku. Aku lupa memberi mereka makan!!
***
Tiga bulan berlalu.
Cimon dan Cimot bertambah montok. Badan mereka sudah lebih besar dari kucing. Aku
tidak lagi bisa bebas menggendong mereka. Selain berat, kalau berontak,
tendangan mereka makin kuat. Jadi semakin banyak pula cakaran akibat tendangan kaki
mereka di tanganku. Kelinci-kelinciku juga semakin lincah, sehingga jika mereka
dikeluarkan dari kandang, akan susah memasukkannya kembali.
Suatu pagi,
kutemukan satu kelinciku, Cimot, diam di pojok kandang. Tidak mau makan, tidak
mau beraktivitas. Ketika ku pegang, badannya panas. Cimot sakit! Aku bingung!
“Ayah, Cimot gak mau
makan. Perutnya kempes. Badannya panas. Gimana ini??” tanyaku pada Ayah.
“Sebentar, Ayah browsingkan dulu di internet. Siapa tau
ada solusinya..”
Berbagai cara
kulakukan agar kelinciku sembuh. Kata ayah, kelinciku kedinginan, jadinya masuk
angin. Cimot pun dipindahkan dari kandangnya, agar badannya lebih hangat dan
agar tidak menular pada Cimon. Cimot diberi obat penurun panas. Seperti kalo
aku sakit. Caranya dengan menghancurkan obat penurun panas, kemudian dicampur
air, dan dimasukkan dalam spet, baru disuntikkan melalui mulut Cimot.
Namun semua usaha
yang telah kulakukan gagal. Esok harinya Cimot mati. Kami sangat sedih,
terutama adikku. Karena kesedihannya, adikku jadi malas makan. Akibatnya adikku
sakit. Dia harus opname di rumah sakit. Seminggu penuh dia bed rest di rumah sakit. Jadilah aku sibuk sendiri. Tidak ada yang
membantu mengurus Cimon ketika aku sekolah. Alhamdulillah, seminggu kemudian
adikku diperbolehkan pulang.
***
Suatu malam, ketika
hujan rintik-rintik, dan aku siap memejamkan mata, kudengar gonggongan anjing
di belakang rumah.
“Kok ada anjing,
sih?” gumamku perlahan.
Dengan rasa
penasaran dan sedikit takut, aku ke pergi belakang rumah. Kulihat ada dua sosok
berwarna hitam sedang menggonggong di depan kandang Cimon. Cimon panik. Berlari
kesana kemari. Aku bingung harus bagaimana. Satu hal yang terpikir olehku :
tongkat kayu. Tapi ternyata tak satu pun tongkat kayu kutemukan disekitarku.
Ketika aku sedang
kebingungan, tiba-tiba saja Cimon melompat keluar kandang, dan langsung digigit
oleh salah satu anjing hitam itu. Kedua anjing itu pun langsung berlari sambil
menggigit mangsa dimulutnya. Dalam kepanikan, aku berlari menerobos rintik
hujan, berusaha mengejar kedua anjing itu. Tapi apa daya, kedua anjing itu
hilang dalam kelamnya malam.
Akhirnya aku
menghentikan langkah kakiku. Berdiri mematung memandang gelapnya kebun belakang
rumah dan menitikkan air mata. Samar kudengar suara Cimon menjerit kesakitan.
Miris hati ini mendengarnya. Dengan langkah gontai, aku kembali ke dalam rumah.
Berurai air mata, namun tanpa kata. (Nien Za)