Senin, 29 April 2013

Cerpen Ketiga


KELINCIKU

Siang ini panas sekali!! Panasnya membuat kepala pening dan tenggorokan kering. Rumahku yang hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari sekolah, menjadi terasa jauh sekali.
Kupercepat langkahku sambil sesekali tanganku menyeka peluh didahiku dengan tissue. Berharap aku bisa segera sampai di rumah, meminum segelas es teh manis, menyalakan kipas angin, dan merebahkan badan di kamar.
Seulas senyum mengembang di depan pintu ketika aku memasuki pagar rumah. Wajah kecil itu terlihat gembira melihat kedatanganku. Sepertinya, dia memang sengaja menunggu di situ. Sebuah salam berbalas terucap ketika aku memasuki rumah. Kemudian tubuh mungil itu membuntutiku memasuki kamar.
“Kakak capek?” tanyanya.
“Lumayan…” jawabku sambil meletakkan tas di meja belajarku.
Kubuka lemari pakaian dan mengambil baju ganti. Kulihat adikku masih terus memperhatikan aktivitasku sambil tak henti-hentinya menyungging senyum.
“Ada apa sih, dari tadi senyum-senyum terus?” Jawabku.
“Sini, deh..!”
Baju ganti yang sudah kuambil urung kupakai dan kuletakkan begitu saja di atas tempat tidur, karena tangan kecil itu telah terburu-buru menarikku serta membawaku ke belakang rumah.
Setengah berlari aku mengikutinya dan menghentikan langkahku tepat dibelakangnya ketika dia menghentikan langkahnya.
 “Lihat!” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah kandang.
Mataku mengikuti arah telunjuknya serta langsung membulat dan berbinar. Di dalam kandang ku lihat dua ekor makhluk berbulu coklat, berbulu lebat, dan bertelinga panjang sedang sibuk makan.
“Waaahh… Kelinci!” pekikku kegirangan.
Tanpa ditanya, adik kecilku langsung bercerita. Tadi, sepulang sekolah, dia ikut ibu melihat-lihat bunga di pameran flora dan fauna di Gedung Bentara Budaya. Ibu mau menambah koleksi anggreknya. Ketika ibu sedang asyik melihat-lihat anggrek, adikku berkeliling ke semua tempat pameran, hingga dia tiba di bagian fauna. Adikku pun takjub dengan hewan-hewan di situ. Ikan, hamster, kelinci, ular, dan burung. Dia tertarik untuk memiliki hewan-hewan itu, kecuali ular. Akhirnya dia menjatuhkan pilihannya pada dua kelinci jenis Lion ini.
 “Kelinci yang ini punyaku,” kata adikku sambil menunjuk ke arah kelinci yang berwarna coklat mulus.
“Yang ada belangnya punya Kakak,” tambahnya.
“Waahh… Kita pelihara bareng-bareng, ya… Nanti kita tanya ayah bagaimana caranya,” kataku.
“Oke…!!” jawab adikku senang.
Terlupakan sudah keinginanku untuk minum segelas es teh manis, menyalakan kipas angin, dan merebahkan badan di kamar. Siang itu akhirnya aku dan adikku asyik bermain-main dengan kelinci baruku.
Kelinci-kelinci itu kami beri nama Cimon dan Cimot, karena mereka lucu dan montok. Sejak hari itu, kesibukan kami bertambah. Memberi makan kelinci, memberi sedikit minum, dan membersihkan kandang. Kata ayah, kelinci termasuk binatang pengerat. Dia bisa makan sayuran, biji-bijian, dan umbi-umbian. Jadi Cimon dan Cimot kami beri makan kangkung, wortel, ketela, singkong, dan dedak secara bergantian. Karena makanan kelinci sudah mengandung banyak air, maka minumnya sedikit saja dan dicampur sedikit garam, biar nggak bloat alias kembung.
Tiap hari minggu Cimon dan Cimot ditimbang dan dikeluarkan dari kandang, supaya mereka bebas berlarian. Kata ayah namanya excercise. Hehe.. lucu ya, istilahnya?
***

Suatu hari, pada minggu pagi yang cerah, aku sekeluarga menghadiri acara pernikahan sepupuku. Kami pergi sampai hari menjelang sore. Hari itu aku benar-benar melupakan kelinci-kelinciku. Ketika menginjakkan kaki kembali di teras rumah, aku baru ingat dengan kelinci-kelinciku. Aku pun lari ke belakang rumah. Kulihat kandang kelinciku kosong. Pintu kandang telah terbuka dengan lebarnya.
“Ayaaah…! Kelinciku hilaaangg…!” jeritku.
Semua orang dalam rumah pun berhamburan keluar mendengar jeritanku.
“Hilang bagaimana??” tanya ayah.
“Ya, hilang…!! Tuh, kandangnya kosong!” kataku hampir menangis.
“Mungkin tadi Kakak lupa nutup pintu kandang….?”
“Gak tau…!”
“Ya, sudah... Mumpung belum gelap, ayo kita cari! Mudah-mudahan masih ketemu..” kata Ayah bijak.
Sore itu pun kami bergerilya mencari-cari kelinci. Baru menjelang adzan maghrib, dua makhluk itu kami temukan tengah asyik makan di kebun belakang. Dan setelah diingat-ingat, ternyata kesalahan ada padaku. Aku lupa memberi mereka makan!!
***
Tiga bulan berlalu. Cimon dan Cimot bertambah montok. Badan mereka sudah lebih besar dari kucing. Aku tidak lagi bisa bebas menggendong mereka. Selain berat, kalau berontak, tendangan mereka makin kuat. Jadi semakin banyak pula cakaran akibat tendangan kaki mereka di tanganku. Kelinci-kelinciku juga semakin lincah, sehingga jika mereka dikeluarkan dari kandang, akan susah memasukkannya kembali.
Suatu pagi, kutemukan satu kelinciku, Cimot, diam di pojok kandang. Tidak mau makan, tidak mau beraktivitas. Ketika ku pegang, badannya panas. Cimot sakit! Aku bingung!
“Ayah, Cimot gak mau makan. Perutnya kempes. Badannya panas. Gimana ini??” tanyaku pada Ayah.
“Sebentar, Ayah browsingkan dulu di internet. Siapa tau ada solusinya..”
Berbagai cara kulakukan agar kelinciku sembuh. Kata ayah, kelinciku kedinginan, jadinya masuk angin. Cimot pun dipindahkan dari kandangnya, agar badannya lebih hangat dan agar tidak menular pada Cimon. Cimot diberi obat penurun panas. Seperti kalo aku sakit. Caranya dengan menghancurkan obat penurun panas, kemudian dicampur air, dan dimasukkan dalam spet, baru disuntikkan melalui mulut Cimot.
Namun semua usaha yang telah kulakukan gagal. Esok harinya Cimot mati. Kami sangat sedih, terutama adikku. Karena kesedihannya, adikku jadi malas makan. Akibatnya adikku sakit. Dia harus opname di rumah sakit. Seminggu penuh dia bed rest di rumah sakit. Jadilah aku sibuk sendiri. Tidak ada yang membantu mengurus Cimon ketika aku sekolah. Alhamdulillah, seminggu kemudian adikku diperbolehkan pulang.
***
Suatu malam, ketika hujan rintik-rintik, dan aku siap memejamkan mata, kudengar gonggongan anjing di belakang rumah.
“Kok ada anjing, sih?” gumamku perlahan.
Dengan rasa penasaran dan sedikit takut, aku ke pergi belakang rumah. Kulihat ada dua sosok berwarna hitam sedang menggonggong di depan kandang Cimon. Cimon panik. Berlari kesana kemari. Aku bingung harus bagaimana. Satu hal yang terpikir olehku : tongkat kayu. Tapi ternyata tak satu pun tongkat kayu kutemukan disekitarku.
Ketika aku sedang kebingungan, tiba-tiba saja Cimon melompat keluar kandang, dan langsung digigit oleh salah satu anjing hitam itu. Kedua anjing itu pun langsung berlari sambil menggigit mangsa dimulutnya. Dalam kepanikan, aku berlari menerobos rintik hujan, berusaha mengejar kedua anjing itu. Tapi apa daya, kedua anjing itu hilang dalam kelamnya malam.
Akhirnya aku menghentikan langkah kakiku. Berdiri mematung memandang gelapnya kebun belakang rumah dan menitikkan air mata. Samar kudengar suara Cimon menjerit kesakitan. Miris hati ini mendengarnya. Dengan langkah gontai, aku kembali ke dalam rumah. Berurai air mata, namun tanpa kata. (Nien Za)

dari hamba untuk Tuhannya

kala subuh datang
ku bawa kaki berdiri
ku basuh muka ini
kepada-Mu jua aku datang

perlahan menggeliat matahari
hangat sinarnya membelai bumi
makhluk Tuhan tinggalkan sarang
alam riang melagu dendang

sang surya di atas kepala
kembali ku kenakan mukena
diantara panas mayapada
kembali aku berdoa

mentari lambat berlari
perlahan waktu tertinggalkan pergi
menyejuk garang mentari
angin membelai sepoi

ketika bayang sepanjang badan
ku ambil air wudhu di tangan
ku hampar sajadah di hadapan
kembali ku datang pada Tuhan

surya kembali ke peraduan
meninggalkan jejak kemerahan
mengelabu langit senja
mendingin panas udara

adzan pun kembali berkumandang
memanggil insan tuk sembahyang
ku sujud di hadapan-Mu
persembahkan pengabdian pada-Mu

malam telah mengganti siang
makhluk Tuhan pulang ke sarang
berganti kehidupan makhluk malam
riuh warnai kelam

kaki hamba kembali berdiri
tuk beribadah pada Illahi
menarikan ritual suci
persembahan untuk Yang Maha Tinggi

malam kian pekat
insan lelap beristirahat

diantara insan lena
ada hamba khusuk berdoa




Minggu, 28 April 2013

Seperti pada Awalnya

beranjaklah!
menjauhlah!
menghilanglah!

dan aku akan tetap di sini
berdiri di atas kedua kaki

aku..
seperti pada awalnya : 
sendiri 


tak akan ada tangisan
tak akan ada ratapan

tak butuh teman 
tak butuh belaian 

aku.. 
seperti pada awalnya : 
beku dan berhati batu

Mimpi

Orang bilang, jangan percaya suara burung dan jangan percaya mimpi. Tapi kali ini aku ingin berkisah tentang sebuah mimpi.
Empat tahun silam, aku pernah berproses dengan seseorang. Malam-malamku pun dihiasi dengan mimpi-mimpi tentangnya. Tapi bukan mimpi indah, melainkan mimpi buruk! Sekali waktu aku bermimpi mendapat undangan pernIkahannya, tapi bukan dengan diriku. Dan diwaktu yang lain, aku bermimpi melihatnya menikah dengan orang lain. Aku pun bertanya-tanya, apakah dia bukan jodohku? Dan akhirnya, rencana indah yang hanya seumur jagung itu pun berakhir.
Masih tentang mimpi. Beberapa malam yang lalu, aku bermimpi berada di sebuah acara akad nikah. Dan ternyata, akulah calon pengantin wanitanya. Tapi, si calon pengantin pria tak juga datang, padahal akad nikah harus segera dilaksanakan. Ketika sang calon pengantin pria datang, aku sudah berada diambang batas kesabaran. Dan aku berkata : “Sudah, dibatalkan saja! Kelamaan!” 

Dan hari ini, aku mengatakan hal yang sama. 

Tuhan, damaikan hatiku atas segala ketentuan-Mu..

Jumat, 26 April 2013

Cerpen Kedua

A D I K

“Sebel..sebel..sebel…!!!” Kata Anin sambil menghentak-hentakkan kakinya. Wajahnya cemberut, tanda ia sedang kesal. Ia mendengus dan melemparkan tubuhnya ke kursi di depan televisi.
“Nggak enak jadi anak bungsu!” Ia masih terus menggerutu.
“Coba Umi punya anak satu lagi…”
***
Anin adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Mbak Ayin, enam tahun lebih tua darinya. Saat ini Mbak Ayin duduk di kelas 12 SMA. Kakaknya yang kedua, Mas Arif, tiga tahun lebih tua darinya, dan sekarang sudah kelas 9 SMP. Anin sendiri sekarang duduk di bangku kelas 6.
Kedua kakaknya terlihat sangat rukun. Tapi anehnya, ia tidak pernah bisa akur dengan kakak-kakaknya. Bahkan, dengan Mas Arif, ia sering berantem. Dan yang lebih menyebalkan adalah kedua kakaknya selalu kompak mengerjainya.
***
Hari ini Mbak Anin dan Mas Arif entah mau pergi kemana. Mereka merahasiakannya sambil senyum-senyum dan ia tidak diajak. Menyebalkan sekali!!
Tiba-tiba, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah dan berhenti di garasi.
“Ummi pulang!” bisik Anin sambil berlari keluar, menyongsong kedatangan umminya. Gurat kekesalan masih tersisa diwajahnya.
“Assalamu’alaikum….’ Ucap Ummi.
“Wa’alaikumsalam,” Jawab Anin pendek sambil mencium tangan ummi.
“Kenapa cemberut gitu, Dek?” Tanya Ummi.
Dibimbingnya Anin masuk ke dalam rumah.
“Habisnya, Mbak Ayin sama Mas Arif pergi gak ajak-ajak. Nggak bilang lagi mau kemana. Katanya ini urusan orang dewasa, anak kecil gak boleh ikutan. Jadinya sebel kan, Mi. Adek selaaaalu saja ditinggal!!” Lapor Anin sambil bersungut-sungut.
“Adek…. Gak boleh gitu donk…. Mungkin Mbak Ayin sama Mas Arif lagi ada urusan penting. Lagian kalo mereka perginya cuma main, Adek juga mesti dibawain oleh-oleh kan?” Hibur Ummi.
“Iya sih…. Tapi kan Adek pingin ikut…” Anin masih ngotot.
Ummi tersenyum.
“Dek, tolong ambilkan Ummi air putih, ya..?” Pinta Ummi sambil menyandarkan tubuh di kursi depan TV, setelah meletakkan tas di atas meja dan melepas sepatu.
Anin mengangguk dan berlari ke dapur. Sekejap kemudian dia sudah berada di depan ummi, menyodorkan segelas air putih, dan berkata, “Mi, punya adik lagi donk…”
Ummi terkejut sampai hampir tersedak mendengar perkataan Anin.
“Memang kenapa, Dek?”
“Ummi punya anaknya jangan ganjil donk… Tambah satu lagi. Biar Anin ada temennya.”
Ummi pun hanya bisa tersenyum geli.
***
 Krrrrrriiiiiiiiinnngggg………!!!!
Jam weker klasik pemberian nenek berdering di atas kepala Anin. Dengan mata masih terpejam. Anin meraba-raba bantalnya, mencari jam weker, dan mematikannya. Dikucek-kuceknya kedua matanya sambil sesekali menguap dan kemudian bangun.
Jam tiga tepat. Anin bergegas ke kamar mandi, berwudhu, dan mengambil mukena. Dikerjakannya dua rakaat tahajud dan ditutup dengan witir. Kemudian, dengan sepenuh hati dia berdo’a, memohon pada Allah agar diberi adik, dan dia tidak sendirian lagi jika Mbak Ayin dan Mas Arif pergi.
***
Tiga bulan telah berlalu. Pada suatu malam, Mbak Ayin mendekatinya.
“Adek! Mbak Ayin punya kejutan buat kamu.”
“Apaan, Mbak?”
“Coba tebak!”
“Mmmmm….. Coklat? Es Krim? Buku Cerita?” Tanya Anin menebak-nebak. Dan Mbak Ayin menjawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum-senyum.
“Apa sih?”
“Denger ya…. Kita... Akan… Punya… Adik… Baruuuu…!!!” Jawab Mbak Ayin sambil mengeja.
“Yang bener??!!” Tanya Anin tak percaya.
Mbak Ayin mengangguk sambil tersenyum.
“Ummiiiiii…..!!!” Anin menjerit kesenangan dan berlari mencari umminya.
***
Berita itu ternyata membuat Anin sangat senang. Setiap hari dia selalu mengusap-usap perut umminya dan mengajak calon adiknya ngobrol. Setiap hari pula Anin menebak-nebak jenis kelamin adiknya nanti dan menyiapkan nama-nama. Mbak Ayin punya usul, kalo laki-laki diberi nama Ahmad Arba’i. Karena dia anak keempat. Abi, Ummi, dan Mas Arif setuju. Anin pun ikut setuju.
Di sekolah, Anin menceritakan hal itu kepada teman-temannya. Setiap kali bercerita, matanya selalu berbinar-binar. Dia pun meminta pendapat teman-temannya tentang nama adiknya kelak.
Ketika kandungan Ummi memasuki usia empat bulan, Anin berteriak kegirangan saat memegang perut umminya. Adiknya bergerak! Lima bulan lagi ia bisa menggendongnya. Anin pun semakin sering memegang-megang perut umminya dan ngobrol dengan calon adiknya.
***
Suatu siang yang panas. Sepulang sekolah, seperti biasa rumah sepi. Tapi seingat Anin, tadi pagi ummi megeluh tidak enak badan dan tidak masuk kerja. Sedang Mbak Ayin libur. Hari tenang karena mau Ujian Nasional. Dan harusnya Mas Arif pulang cepat karena hari ini try out.
Anin mengucap salam sambil membuka pintu. Terkunci. Dia pun bergegas ke tempat penyimpanan kunci, membuka pintu, dan memasuki rumah. Kemana ya orang-orang ini? Batin Anin.
Suara motor Mbak Ayin terdengar memasuki garasi ketika Anin sedang menonton TV. Anin segera keluar. Dilihatnya Mbak Ayin dan Mas Arif turun dari motor.
“Dari mana, Mbak?”
Mbak Ayin dan Mas Arif tersenyum aneh dan berpandangan. Ragu Mbak Ayin menjawab, “Dari rumah sakit.”
“Rumah sakit? Ummi kenapa?” Tanya Anin.
“Mmmm…. Ummi nggak pa-pa..” Jawab Mbak Ayin sambil berlalu.
Anin membuntutinya. Penasaran.
“Kalo nggak pa-pa, kenapa masuk rumah sakit?”
Mbak Ayin dan Mas Arif duduk di kursi depan TV. Dengan hati-hati Mbak Ayin menjelaskan. “Ummi nggak pa-pa. Tapi adek…” Mbak Ayin tidak melanjutkan kalimatnya.
“Adek kenapa?” Tanya Anin tak sabar.
“Adek harus dikeluarkan.” Bingung Mbak Ayin menjawab.
“Dikeluarkan gimana? Nanti kalo habis dikeluarkan,  masih bisa dimasukkan perut lagi, kan?” Tanya Anin kacau. Matanya berkaca-kaca.
“Kalo sudah dikeluarkan, ya nggak bisa dimasukkan lagi.” Sahut Mas Arif.
“Kalo gitu, kenapa harus dikeluarkan??!!” Anin sudah mulai terisak. Dengan bijak, Mbak Anin menjelaskan. “Tadi pagi Mbak Ayin nganter Ummi USG. Dan ternyata adek sudah tidak bergerak lagi. Dokter menyarankan supaya adek dikeluarkan. Karena adek sudah tidak hidup lagi. Ummi terinfeksi tocsoplasma.”
Seketika, pecahlah tangis Anin. Dia berlari ke kamar. Menangis. Kecewa karena ia batal punya adik.  Anin baru keluar kamar ketika Mbak Ayin membujuknya untuk shalat maghrib.
***
Selasa pagi, Anin, Mas Arif, dan Mbak Ayin ke rumah sakit. Subuh tadi Abi menelpon, mengabarkan kalau adik sudah lahir. Mereka datang bersama beberapa orang tetangga yang akan mengurus pemakaman adik mereka.
Anin dan kakak-kakaknya berkesempatan melihat adik mereka untuk terakhir kalinya. Bayi itu masih mungil sekali, karena memang baru berusia lima bulan di kandungan, dan sepertinya berjenis kelamin laki-laki.
Pukul sembilan tepat. Anin mengikuti Abi dan Mas Arif ke pemakaman. Air matanya menitik menatap gundukan tanah di depannya. Dia berbisik, “Selamat jalan Ahmad Arba’i-ku yang mungil. Semoga kau tenang di sana. Aamiin.”

Cerpen Pertama


PERJALANAN KE BORNEO

Pukul 21.00 WIB.
Koper, tas ransel, dan kardus-kardus berisi barang bawaan telah siap. Aku, adikku, dan Bunda juga telah siap. Travel yang Bunda pesan juga telah siap di depan rumah. Malam ini kami akan ke Surabaya. Menuju Bandara Juanda.
***
Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 04.15 WIB, ketika aku membuka mata. Kudengar bisikan lembut Bunda membangunkan adikku. Kami telah sampai di Bandara Juanda.
“Waaah…. Ramai juga ya? Padahal masih sepagi ini…” Kata adikku, sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ya, iyalah…! Namanya juga bandara,” jawabku.
Adikku memang baru kali ini naik pesawat. Kalau aku, dulu pernah naik pesawat ketika pindah dari Makasar. Waktu itu aku berusia 5 tahun.
Kami beristirahat sebentar, membersihkan diri, dan bersiap sholat Subuh. Hari ini kami memutuskan untuk tidak berpuasa, karena shafar. Ya, hari ini kami akan ke Samarinda. Perjalanan Balikpapan – Samarinda memakan waktu kurang lebih 2 jam, dengan medan yang cukup “dahsyat”. Jadi, untuk mengantisipasi hal itu, kami memutuskan untuk tidak berpuasa.
Kami menghabiskan liburan Ramadhan dan Lebaran kali ini di Samarinda. Karena sejak enam bulan yang lalu Ayah dipindahtugaskan ke Samarinda, tanah kelahiran ayah. Ayah tidak bisa mengambil cuti, jadi ayah memutuskan agar kami berlebaran di sana, sekalian bersilaturahmi dengan keluarga besar ayah di sana.
***
Satu jam sebelum keberangkatan, kami harus sudah check in. Bunda pun mengantri untuk chek tiket, dan memasukkan barang ke bagasi.
Setelah 15 menit mengantri, kami memasuki ruang boarding pass. Aku mencari-cari kursi yang masih kosong. Kutemukan sederet kursi kosong di sudut ruangan. Kami pun duduk di sana. Running text yang tertempel di dinding di atas pintu menunjukkan bahwa pesawat take off pukul 06.55 WIB.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara operator dari pengeras suara bahwa penumpang pesawat dengan tujuan Balikpapan dimohon untuk bersiap-siap, dan keluar melalui pintu 2. Kami dan beberapa orang di ruangan itu pun berdiri dan menuju pintu 2. Di situ telah disediakan sebuah bus yang akan mengangkut penumpang menuju ke pesawat tujuan Balikpapan.
Sesampainya di dalam pesawat, kami mencari tempat duduk kami. D1, D2, D3. Aku dan adikku duduk dalam satu baris di bagian kanan pesawat. Sedangkan Bunda di bagian kiri pesawat.
Setelah semua penumpang pesawat naik, pintu ditutup. Dua orang pramugari berdiri ditengah-tengah lorong pesawat, memperagakan bagaimana cara memakai sabuk pengaman dan pelampung, serta menunjukkan dimana letak pintu darurat.
Seluruh penumpang diam dalam do’a ketika pesawat mulai take off. Tak ada suara. Hanya gemuruh mesin pesawat dan samar suara operator dari bandara. Suasana mencekam yang begitu tiba-tiba, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Saat itu kurasakan sebuah genggaman erat dipergelangan tanganku. Ternyata adikku merasakan ketakutan yang sama. Aku pun menggenggam tangannya, memejamkan mata, dan tenggelam dalam do’a.
Lima belas menit kemudian, suasana mulai tenang. Hembusan nafas lega mulai terdengar, disusul dengan suara-suara. Pesawat telah berhasil take off. Pramugari mempersilahkan untuk membuka sabuk pengaman.
Aku pun membuka mata, dan mulai menikmati pemandangan kota Surabaya dan Pulau Madura dari atas, yang secara perlahan mengecil dan menghilang, menyisakan biruya langit dan putihnya awan.
“Putih-putih di luar itu apa, Kak?” Tanya adikku.
“Ooh… Itu awan, Dik,” jawabku.
Kayak arum manis, ya?” Kata adikku.
Aku pun tertawa.
Tiba-tiba pesawat bergetar. Adikku kaget.
“Kenapa ini, Kak?!”
Nggak pa pa. Kalo pesawat melewati awan, memang sedikit bergetar. Liat tuh, di jendela. Putih semua, kan?”
“ Iya…”
Ketika gumpalan awan telah terlewati, terlihatlah birunya langit. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya biru. Adikku pun menyeletuk.
Kok pesawatnya berhenti, Kak? Ada lampu merah, ya?”
Seketika aku tertawa.
“Hua…ha..ha..ha..ha..!!!”
Kok ketawa, sih?”
Setelah puas tertawa, sampai ber-air mata, aku menjawab pertanyaan adikku.
“Adik…, adik…! Mana ada lampu merah di langit?! Pesawat kelihatan seperti berhenti, karena kita ada di angkasa, yang semuanya berwarna biru. Karena nggak ada awan, jadi pesawatnya tenang.”
“Ooo… Gitu, ya?’
Adikku mengangguk-angguk, kemudian melihat keluar jendela lagi.
“Kak, ada yang aneh di telinga Kakak, nggak?” Tanya adikku.
“Iya,”
Kok bisa begini?”
“Ini karena kita berada di angkasa, yang mempunyai tekanan udara lebih rendah daripada di bumi. Jadi telinga kita terasa tertekan,”
“Oooo…..”
Adikku pun sibuk dengan dirinya sendiri lagi.
Aku menoleh ke sebelah kiri, kulihat Bunda tengah tertidur. Aku tersenyum. Bunda pasti capek mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan ini sejak kemarin.
***
            Satu jam telah berlalu. Birunya langit pun berganti dengan warna biru lain. Warna biru laut. Berarti pesawat sedang terbang di atas laut! Indahnya…..
Pramugari masuk ke kabin pesawat. Mempersilahkan penumpang untuk memakai kembali sabuk pengaman. Pesawat akan segera landing. Suasana pun berubah hening. Semua penumpang kembali diam dalam do’a. Saat take off dan landing pesawat adalah saat paling kritis dalam sebuah proses penerbangan.
            Alhamdulillah… Setelah pesawat berputar-putar selama 15 menit di atas laut, pesawat berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
            Semua penumpang turun. Tapi kali ini, tidak ada bus pengangkut penumpang. Jadi kami berjalan kaki ke bandara. Bunda mengantri sebentar untuk mengambil barang dari bagasi. Aku mencari troli untuk mengangkut barang.
            Penjemput berdiri berjejalan ketika kami melangkahkan kaki di pintu keluar bandara. Aku mencari-cari sosok ayah di sana.
            “Ayaaahh…….!!!”
Adikku berteriak sambil berlari ke arah seorang laki-laki berkemeja biru muda, yang berdiri di dekat sebuah tiang. Laki-laki itu pun berlari menyongsong dan memeluknya.
Spontan aku dan Bunda ikut berlari, sambil mendorong troli, kemudian bergantian memeluk Ayah. Kangen sekali rasanya, tidak melihat ayah selama enam bulan.
“Capek, ya?”
“Iya, Ayah….” Kami menjawab hampir bersamaan.
Kalo gitu, kita pulang sekarang. Di rumah nanti kalian istirahat dulu, terus nanti malam kita tarawih di masjid. Oke??!!”
Oke…!!!” jawab kami serempak.
“Tapi, sholatnya nanti di mana, Yah?’
“Di Baitur-rahiim.”
Setelah puas melepas rindu, ayah mengajak kami pulang. Ayah mendorong troli dan berjalan menuju sebuah mobil yang tengah berhenti di depan bandara. Kami mengikutinya dari belakang.
Keluar dari Bandara Sepinggan, jalanan sudah beraspal halus, tapi berkelok-kelok. Jalan yang berkelok-kelok, sopir yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, badan yang capek, membuat perutku terasa diaduk-aduk. Akupun memilih untuk memejamkan mata. Samar-samar, kudengar adikku bertanya tentang ini dan itu kepada Ayah. Sebelum akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
***
Aku terbangun ketika mobil sudah sampai di Jembatan Mahakam. Kudengar ayah sedang menjelaskan sesuatu pada adikku.
“Ini namanya Jembatan Mahkota atau orang sering menyebutnya Jembatan Mahakam, karena ada di atas Sungai Mahakam. Jembatan ini menghubungkan Samarinda Seberang dengan Samarinda Kota.”
“Panjang sekali, Ayah!”
“Iya, jembatan ini panjangnya 400 meter. Coba nanti hitung aja!”
“Mana bisa, Ayah….??”
“Bisa aja. Kan ada tulisannya tiap meter..”
“Oooo….”
Di kanan kiri Sungai Mahakam terdapat sebuah taman yang selalu ramai. Namanya Tepian Mahakam.
“Ayah, besok kita ngabuburit ke sini yaa….” Kata adikku.
“Iya, iya…”
***
Mobil berbelok di Jalan Agus Salim, kemudian masuk ke Gang II, dan berhenti di depan sebuah rumah.
Nah, kita sudah sampai….” Kata Ayah.
Kami pun turun.
Sampai di rumah, kami membersihkan badan dan sholat. Kemudian aku istirahat sebentar. Mulai nanti malam dan esok hari, aku akan berkeliling kota, berpetualang, dan membuat banyak cerita seru. Aku pun berdoa, memejamkan mata, dan lelap dalam istirahat siangku. (nien za)