Jumat, 26 April 2013

Cerpen Pertama


PERJALANAN KE BORNEO

Pukul 21.00 WIB.
Koper, tas ransel, dan kardus-kardus berisi barang bawaan telah siap. Aku, adikku, dan Bunda juga telah siap. Travel yang Bunda pesan juga telah siap di depan rumah. Malam ini kami akan ke Surabaya. Menuju Bandara Juanda.
***
Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 04.15 WIB, ketika aku membuka mata. Kudengar bisikan lembut Bunda membangunkan adikku. Kami telah sampai di Bandara Juanda.
“Waaah…. Ramai juga ya? Padahal masih sepagi ini…” Kata adikku, sambil mengucek-ngucek matanya.
“Ya, iyalah…! Namanya juga bandara,” jawabku.
Adikku memang baru kali ini naik pesawat. Kalau aku, dulu pernah naik pesawat ketika pindah dari Makasar. Waktu itu aku berusia 5 tahun.
Kami beristirahat sebentar, membersihkan diri, dan bersiap sholat Subuh. Hari ini kami memutuskan untuk tidak berpuasa, karena shafar. Ya, hari ini kami akan ke Samarinda. Perjalanan Balikpapan – Samarinda memakan waktu kurang lebih 2 jam, dengan medan yang cukup “dahsyat”. Jadi, untuk mengantisipasi hal itu, kami memutuskan untuk tidak berpuasa.
Kami menghabiskan liburan Ramadhan dan Lebaran kali ini di Samarinda. Karena sejak enam bulan yang lalu Ayah dipindahtugaskan ke Samarinda, tanah kelahiran ayah. Ayah tidak bisa mengambil cuti, jadi ayah memutuskan agar kami berlebaran di sana, sekalian bersilaturahmi dengan keluarga besar ayah di sana.
***
Satu jam sebelum keberangkatan, kami harus sudah check in. Bunda pun mengantri untuk chek tiket, dan memasukkan barang ke bagasi.
Setelah 15 menit mengantri, kami memasuki ruang boarding pass. Aku mencari-cari kursi yang masih kosong. Kutemukan sederet kursi kosong di sudut ruangan. Kami pun duduk di sana. Running text yang tertempel di dinding di atas pintu menunjukkan bahwa pesawat take off pukul 06.55 WIB.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara operator dari pengeras suara bahwa penumpang pesawat dengan tujuan Balikpapan dimohon untuk bersiap-siap, dan keluar melalui pintu 2. Kami dan beberapa orang di ruangan itu pun berdiri dan menuju pintu 2. Di situ telah disediakan sebuah bus yang akan mengangkut penumpang menuju ke pesawat tujuan Balikpapan.
Sesampainya di dalam pesawat, kami mencari tempat duduk kami. D1, D2, D3. Aku dan adikku duduk dalam satu baris di bagian kanan pesawat. Sedangkan Bunda di bagian kiri pesawat.
Setelah semua penumpang pesawat naik, pintu ditutup. Dua orang pramugari berdiri ditengah-tengah lorong pesawat, memperagakan bagaimana cara memakai sabuk pengaman dan pelampung, serta menunjukkan dimana letak pintu darurat.
Seluruh penumpang diam dalam do’a ketika pesawat mulai take off. Tak ada suara. Hanya gemuruh mesin pesawat dan samar suara operator dari bandara. Suasana mencekam yang begitu tiba-tiba, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Saat itu kurasakan sebuah genggaman erat dipergelangan tanganku. Ternyata adikku merasakan ketakutan yang sama. Aku pun menggenggam tangannya, memejamkan mata, dan tenggelam dalam do’a.
Lima belas menit kemudian, suasana mulai tenang. Hembusan nafas lega mulai terdengar, disusul dengan suara-suara. Pesawat telah berhasil take off. Pramugari mempersilahkan untuk membuka sabuk pengaman.
Aku pun membuka mata, dan mulai menikmati pemandangan kota Surabaya dan Pulau Madura dari atas, yang secara perlahan mengecil dan menghilang, menyisakan biruya langit dan putihnya awan.
“Putih-putih di luar itu apa, Kak?” Tanya adikku.
“Ooh… Itu awan, Dik,” jawabku.
Kayak arum manis, ya?” Kata adikku.
Aku pun tertawa.
Tiba-tiba pesawat bergetar. Adikku kaget.
“Kenapa ini, Kak?!”
Nggak pa pa. Kalo pesawat melewati awan, memang sedikit bergetar. Liat tuh, di jendela. Putih semua, kan?”
“ Iya…”
Ketika gumpalan awan telah terlewati, terlihatlah birunya langit. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya biru. Adikku pun menyeletuk.
Kok pesawatnya berhenti, Kak? Ada lampu merah, ya?”
Seketika aku tertawa.
“Hua…ha..ha..ha..ha..!!!”
Kok ketawa, sih?”
Setelah puas tertawa, sampai ber-air mata, aku menjawab pertanyaan adikku.
“Adik…, adik…! Mana ada lampu merah di langit?! Pesawat kelihatan seperti berhenti, karena kita ada di angkasa, yang semuanya berwarna biru. Karena nggak ada awan, jadi pesawatnya tenang.”
“Ooo… Gitu, ya?’
Adikku mengangguk-angguk, kemudian melihat keluar jendela lagi.
“Kak, ada yang aneh di telinga Kakak, nggak?” Tanya adikku.
“Iya,”
Kok bisa begini?”
“Ini karena kita berada di angkasa, yang mempunyai tekanan udara lebih rendah daripada di bumi. Jadi telinga kita terasa tertekan,”
“Oooo…..”
Adikku pun sibuk dengan dirinya sendiri lagi.
Aku menoleh ke sebelah kiri, kulihat Bunda tengah tertidur. Aku tersenyum. Bunda pasti capek mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan ini sejak kemarin.
***
            Satu jam telah berlalu. Birunya langit pun berganti dengan warna biru lain. Warna biru laut. Berarti pesawat sedang terbang di atas laut! Indahnya…..
Pramugari masuk ke kabin pesawat. Mempersilahkan penumpang untuk memakai kembali sabuk pengaman. Pesawat akan segera landing. Suasana pun berubah hening. Semua penumpang kembali diam dalam do’a. Saat take off dan landing pesawat adalah saat paling kritis dalam sebuah proses penerbangan.
            Alhamdulillah… Setelah pesawat berputar-putar selama 15 menit di atas laut, pesawat berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
            Semua penumpang turun. Tapi kali ini, tidak ada bus pengangkut penumpang. Jadi kami berjalan kaki ke bandara. Bunda mengantri sebentar untuk mengambil barang dari bagasi. Aku mencari troli untuk mengangkut barang.
            Penjemput berdiri berjejalan ketika kami melangkahkan kaki di pintu keluar bandara. Aku mencari-cari sosok ayah di sana.
            “Ayaaahh…….!!!”
Adikku berteriak sambil berlari ke arah seorang laki-laki berkemeja biru muda, yang berdiri di dekat sebuah tiang. Laki-laki itu pun berlari menyongsong dan memeluknya.
Spontan aku dan Bunda ikut berlari, sambil mendorong troli, kemudian bergantian memeluk Ayah. Kangen sekali rasanya, tidak melihat ayah selama enam bulan.
“Capek, ya?”
“Iya, Ayah….” Kami menjawab hampir bersamaan.
Kalo gitu, kita pulang sekarang. Di rumah nanti kalian istirahat dulu, terus nanti malam kita tarawih di masjid. Oke??!!”
Oke…!!!” jawab kami serempak.
“Tapi, sholatnya nanti di mana, Yah?’
“Di Baitur-rahiim.”
Setelah puas melepas rindu, ayah mengajak kami pulang. Ayah mendorong troli dan berjalan menuju sebuah mobil yang tengah berhenti di depan bandara. Kami mengikutinya dari belakang.
Keluar dari Bandara Sepinggan, jalanan sudah beraspal halus, tapi berkelok-kelok. Jalan yang berkelok-kelok, sopir yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, badan yang capek, membuat perutku terasa diaduk-aduk. Akupun memilih untuk memejamkan mata. Samar-samar, kudengar adikku bertanya tentang ini dan itu kepada Ayah. Sebelum akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
***
Aku terbangun ketika mobil sudah sampai di Jembatan Mahakam. Kudengar ayah sedang menjelaskan sesuatu pada adikku.
“Ini namanya Jembatan Mahkota atau orang sering menyebutnya Jembatan Mahakam, karena ada di atas Sungai Mahakam. Jembatan ini menghubungkan Samarinda Seberang dengan Samarinda Kota.”
“Panjang sekali, Ayah!”
“Iya, jembatan ini panjangnya 400 meter. Coba nanti hitung aja!”
“Mana bisa, Ayah….??”
“Bisa aja. Kan ada tulisannya tiap meter..”
“Oooo….”
Di kanan kiri Sungai Mahakam terdapat sebuah taman yang selalu ramai. Namanya Tepian Mahakam.
“Ayah, besok kita ngabuburit ke sini yaa….” Kata adikku.
“Iya, iya…”
***
Mobil berbelok di Jalan Agus Salim, kemudian masuk ke Gang II, dan berhenti di depan sebuah rumah.
Nah, kita sudah sampai….” Kata Ayah.
Kami pun turun.
Sampai di rumah, kami membersihkan badan dan sholat. Kemudian aku istirahat sebentar. Mulai nanti malam dan esok hari, aku akan berkeliling kota, berpetualang, dan membuat banyak cerita seru. Aku pun berdoa, memejamkan mata, dan lelap dalam istirahat siangku. (nien za)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar