PERJALANAN
KE BORNEO
Pukul
21.00 WIB.
Koper,
tas ransel, dan kardus-kardus berisi barang bawaan telah siap. Aku, adikku, dan
Bunda juga telah siap. Travel yang Bunda pesan juga telah siap di depan rumah.
Malam ini kami akan ke Surabaya. Menuju Bandara Juanda.
***
Jam
digital di dashboard mobil
menunjukkan pukul 04.15 WIB, ketika aku membuka mata. Kudengar bisikan lembut
Bunda membangunkan adikku. Kami telah sampai di Bandara Juanda.
“Waaah….
Ramai juga ya? Padahal masih sepagi ini…” Kata adikku, sambil mengucek-ngucek
matanya.
“Ya,
iyalah…! Namanya juga bandara,” jawabku.
Adikku
memang baru kali ini naik pesawat. Kalau aku, dulu pernah naik pesawat ketika
pindah dari Makasar. Waktu itu aku berusia 5 tahun.
Kami
beristirahat sebentar, membersihkan diri, dan bersiap sholat Subuh. Hari ini
kami memutuskan untuk tidak berpuasa, karena shafar. Ya, hari ini kami akan ke Samarinda.
Perjalanan Balikpapan – Samarinda memakan waktu kurang lebih 2 jam, dengan
medan yang cukup “dahsyat”. Jadi, untuk mengantisipasi hal itu, kami memutuskan
untuk tidak berpuasa.
Kami
menghabiskan liburan Ramadhan dan Lebaran kali ini di Samarinda. Karena sejak
enam bulan yang lalu Ayah dipindahtugaskan ke Samarinda, tanah kelahiran ayah.
Ayah tidak bisa mengambil cuti, jadi ayah memutuskan agar kami berlebaran di sana,
sekalian bersilaturahmi dengan keluarga besar ayah di sana.
***
Satu
jam sebelum keberangkatan, kami harus sudah check
in. Bunda pun mengantri untuk chek tiket,
dan memasukkan barang ke bagasi.
Setelah
15 menit mengantri, kami memasuki ruang boarding
pass. Aku mencari-cari kursi yang masih kosong. Kutemukan sederet kursi
kosong di sudut ruangan. Kami pun duduk di sana. Running text yang tertempel di dinding di atas pintu menunjukkan
bahwa pesawat take off pukul 06.55
WIB.
Beberapa
saat kemudian, terdengar suara operator dari pengeras suara bahwa penumpang
pesawat dengan tujuan Balikpapan dimohon untuk bersiap-siap, dan keluar melalui
pintu 2. Kami dan beberapa orang di ruangan itu pun berdiri dan menuju pintu 2.
Di situ telah disediakan sebuah bus yang akan mengangkut penumpang menuju ke
pesawat tujuan Balikpapan.
Sesampainya
di dalam pesawat, kami mencari tempat duduk kami. D1, D2, D3. Aku dan adikku
duduk dalam satu baris di bagian kanan pesawat. Sedangkan Bunda di bagian kiri
pesawat.
Setelah
semua penumpang pesawat naik, pintu ditutup. Dua orang pramugari berdiri
ditengah-tengah lorong pesawat, memperagakan bagaimana cara memakai sabuk
pengaman dan pelampung, serta menunjukkan dimana letak pintu darurat.
Seluruh
penumpang diam dalam do’a ketika pesawat mulai take off. Tak ada suara. Hanya gemuruh mesin pesawat dan samar
suara operator dari bandara. Suasana mencekam yang begitu tiba-tiba, membuat
jantungku berdetak lebih cepat. Saat itu kurasakan sebuah genggaman erat dipergelangan
tanganku. Ternyata adikku merasakan ketakutan yang sama. Aku pun menggenggam
tangannya, memejamkan mata, dan tenggelam dalam do’a.
Lima
belas menit kemudian, suasana mulai tenang. Hembusan nafas lega mulai
terdengar, disusul dengan suara-suara. Pesawat telah berhasil take off. Pramugari mempersilahkan untuk
membuka sabuk pengaman.
Aku
pun membuka mata, dan mulai menikmati pemandangan kota Surabaya dan Pulau
Madura dari atas, yang secara perlahan mengecil dan menghilang, menyisakan biruya
langit dan putihnya awan.
“Putih-putih
di luar itu apa, Kak?” Tanya adikku.
“Ooh…
Itu awan, Dik,” jawabku.
“Kayak arum manis, ya?” Kata adikku.
Aku
pun tertawa.
Tiba-tiba
pesawat bergetar. Adikku kaget.
“Kenapa
ini, Kak?!”
“Nggak pa pa. Kalo pesawat melewati awan, memang sedikit bergetar. Liat tuh, di jendela. Putih semua, kan?”
“ Iya…”
Ketika
gumpalan awan telah terlewati, terlihatlah birunya langit. Sejauh mata
memandang, yang terlihat hanya biru. Adikku pun menyeletuk.
“Kok pesawatnya berhenti, Kak? Ada lampu
merah, ya?”
Seketika
aku tertawa.
“Hua…ha..ha..ha..ha..!!!”
“Kok ketawa, sih?”
Setelah
puas tertawa, sampai ber-air mata, aku menjawab pertanyaan adikku.
“Adik…,
adik…! Mana ada lampu merah di langit?! Pesawat kelihatan seperti berhenti,
karena kita ada di angkasa, yang semuanya berwarna biru. Karena nggak ada awan, jadi pesawatnya tenang.”
“Ooo…
Gitu, ya?’
Adikku
mengangguk-angguk, kemudian melihat keluar jendela lagi.
“Kak,
ada yang aneh di telinga Kakak, nggak?”
Tanya adikku.
“Iya,”
“Kok bisa begini?”
“Ini
karena kita berada di angkasa, yang mempunyai tekanan udara lebih rendah
daripada di bumi. Jadi telinga kita terasa tertekan,”
“Oooo…..”
Adikku
pun sibuk dengan dirinya sendiri lagi.
Aku
menoleh ke sebelah kiri, kulihat Bunda tengah tertidur. Aku tersenyum. Bunda
pasti capek mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatan ini sejak kemarin.
***
Satu jam telah berlalu. Birunya
langit pun berganti dengan warna biru lain. Warna biru laut. Berarti pesawat
sedang terbang di atas laut! Indahnya…..
Pramugari
masuk ke kabin pesawat. Mempersilahkan penumpang untuk memakai kembali sabuk
pengaman. Pesawat akan segera landing.
Suasana pun berubah hening. Semua penumpang kembali diam dalam do’a. Saat take off dan landing pesawat adalah saat paling kritis dalam sebuah proses
penerbangan.
Alhamdulillah… Setelah pesawat
berputar-putar selama 15 menit di atas laut, pesawat berhasil mendarat dengan
selamat di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
Semua penumpang turun. Tapi kali
ini, tidak ada bus pengangkut penumpang. Jadi kami berjalan kaki ke bandara.
Bunda mengantri sebentar untuk mengambil barang dari bagasi. Aku mencari troli
untuk mengangkut barang.
Penjemput berdiri berjejalan ketika
kami melangkahkan kaki di pintu keluar bandara. Aku mencari-cari sosok ayah di
sana.
“Ayaaahh…….!!!”
Adikku
berteriak sambil berlari ke arah seorang laki-laki berkemeja biru muda, yang
berdiri di dekat sebuah tiang. Laki-laki itu pun berlari menyongsong dan
memeluknya.
Spontan
aku dan Bunda ikut berlari, sambil mendorong troli, kemudian bergantian memeluk
Ayah. Kangen sekali rasanya, tidak melihat ayah selama enam bulan.
“Capek,
ya?”
“Iya,
Ayah….” Kami menjawab hampir bersamaan.
“Kalo gitu, kita pulang sekarang. Di
rumah nanti kalian istirahat dulu, terus nanti malam kita tarawih di masjid. Oke??!!”
“Oke…!!!” jawab kami serempak.
“Tapi,
sholatnya nanti di mana, Yah?’
“Di
Baitur-rahiim.”
Setelah
puas melepas rindu, ayah mengajak kami pulang. Ayah mendorong troli dan
berjalan menuju sebuah mobil yang tengah berhenti di depan bandara. Kami
mengikutinya dari belakang.
Keluar
dari Bandara Sepinggan, jalanan sudah beraspal halus, tapi berkelok-kelok.
Jalan yang berkelok-kelok, sopir yang mengendarai mobil dengan kecepatan
tinggi, badan yang capek, membuat perutku terasa diaduk-aduk. Akupun memilih
untuk memejamkan mata. Samar-samar, kudengar adikku bertanya tentang ini dan
itu kepada Ayah. Sebelum akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
***
Aku
terbangun ketika mobil sudah sampai di Jembatan Mahakam. Kudengar ayah sedang
menjelaskan sesuatu pada adikku.
“Ini
namanya Jembatan Mahkota atau orang sering menyebutnya Jembatan Mahakam, karena
ada di atas Sungai Mahakam. Jembatan ini menghubungkan Samarinda Seberang
dengan Samarinda Kota.”
“Panjang
sekali, Ayah!”
“Iya,
jembatan ini panjangnya 400 meter. Coba nanti hitung aja!”
“Mana
bisa, Ayah….??”
“Bisa
aja. Kan ada tulisannya tiap meter..”
“Oooo….”
Di
kanan kiri Sungai Mahakam terdapat sebuah taman yang selalu ramai. Namanya
Tepian Mahakam.
“Ayah,
besok kita ngabuburit ke sini yaa….”
Kata adikku.
“Iya,
iya…”
***
Mobil
berbelok di Jalan Agus Salim, kemudian masuk ke Gang II, dan berhenti di depan sebuah
rumah.
“Nah, kita sudah sampai….” Kata Ayah.
Kami
pun turun.
Sampai
di rumah, kami membersihkan badan dan sholat. Kemudian aku istirahat sebentar.
Mulai nanti malam dan esok hari, aku akan berkeliling kota, berpetualang, dan
membuat banyak cerita seru. Aku pun berdoa, memejamkan mata, dan lelap dalam istirahat
siangku. (nien za)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar