Senin, 29 April 2013

Cerpen Ketiga


KELINCIKU

Siang ini panas sekali!! Panasnya membuat kepala pening dan tenggorokan kering. Rumahku yang hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari sekolah, menjadi terasa jauh sekali.
Kupercepat langkahku sambil sesekali tanganku menyeka peluh didahiku dengan tissue. Berharap aku bisa segera sampai di rumah, meminum segelas es teh manis, menyalakan kipas angin, dan merebahkan badan di kamar.
Seulas senyum mengembang di depan pintu ketika aku memasuki pagar rumah. Wajah kecil itu terlihat gembira melihat kedatanganku. Sepertinya, dia memang sengaja menunggu di situ. Sebuah salam berbalas terucap ketika aku memasuki rumah. Kemudian tubuh mungil itu membuntutiku memasuki kamar.
“Kakak capek?” tanyanya.
“Lumayan…” jawabku sambil meletakkan tas di meja belajarku.
Kubuka lemari pakaian dan mengambil baju ganti. Kulihat adikku masih terus memperhatikan aktivitasku sambil tak henti-hentinya menyungging senyum.
“Ada apa sih, dari tadi senyum-senyum terus?” Jawabku.
“Sini, deh..!”
Baju ganti yang sudah kuambil urung kupakai dan kuletakkan begitu saja di atas tempat tidur, karena tangan kecil itu telah terburu-buru menarikku serta membawaku ke belakang rumah.
Setengah berlari aku mengikutinya dan menghentikan langkahku tepat dibelakangnya ketika dia menghentikan langkahnya.
 “Lihat!” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah kandang.
Mataku mengikuti arah telunjuknya serta langsung membulat dan berbinar. Di dalam kandang ku lihat dua ekor makhluk berbulu coklat, berbulu lebat, dan bertelinga panjang sedang sibuk makan.
“Waaahh… Kelinci!” pekikku kegirangan.
Tanpa ditanya, adik kecilku langsung bercerita. Tadi, sepulang sekolah, dia ikut ibu melihat-lihat bunga di pameran flora dan fauna di Gedung Bentara Budaya. Ibu mau menambah koleksi anggreknya. Ketika ibu sedang asyik melihat-lihat anggrek, adikku berkeliling ke semua tempat pameran, hingga dia tiba di bagian fauna. Adikku pun takjub dengan hewan-hewan di situ. Ikan, hamster, kelinci, ular, dan burung. Dia tertarik untuk memiliki hewan-hewan itu, kecuali ular. Akhirnya dia menjatuhkan pilihannya pada dua kelinci jenis Lion ini.
 “Kelinci yang ini punyaku,” kata adikku sambil menunjuk ke arah kelinci yang berwarna coklat mulus.
“Yang ada belangnya punya Kakak,” tambahnya.
“Waahh… Kita pelihara bareng-bareng, ya… Nanti kita tanya ayah bagaimana caranya,” kataku.
“Oke…!!” jawab adikku senang.
Terlupakan sudah keinginanku untuk minum segelas es teh manis, menyalakan kipas angin, dan merebahkan badan di kamar. Siang itu akhirnya aku dan adikku asyik bermain-main dengan kelinci baruku.
Kelinci-kelinci itu kami beri nama Cimon dan Cimot, karena mereka lucu dan montok. Sejak hari itu, kesibukan kami bertambah. Memberi makan kelinci, memberi sedikit minum, dan membersihkan kandang. Kata ayah, kelinci termasuk binatang pengerat. Dia bisa makan sayuran, biji-bijian, dan umbi-umbian. Jadi Cimon dan Cimot kami beri makan kangkung, wortel, ketela, singkong, dan dedak secara bergantian. Karena makanan kelinci sudah mengandung banyak air, maka minumnya sedikit saja dan dicampur sedikit garam, biar nggak bloat alias kembung.
Tiap hari minggu Cimon dan Cimot ditimbang dan dikeluarkan dari kandang, supaya mereka bebas berlarian. Kata ayah namanya excercise. Hehe.. lucu ya, istilahnya?
***

Suatu hari, pada minggu pagi yang cerah, aku sekeluarga menghadiri acara pernikahan sepupuku. Kami pergi sampai hari menjelang sore. Hari itu aku benar-benar melupakan kelinci-kelinciku. Ketika menginjakkan kaki kembali di teras rumah, aku baru ingat dengan kelinci-kelinciku. Aku pun lari ke belakang rumah. Kulihat kandang kelinciku kosong. Pintu kandang telah terbuka dengan lebarnya.
“Ayaaah…! Kelinciku hilaaangg…!” jeritku.
Semua orang dalam rumah pun berhamburan keluar mendengar jeritanku.
“Hilang bagaimana??” tanya ayah.
“Ya, hilang…!! Tuh, kandangnya kosong!” kataku hampir menangis.
“Mungkin tadi Kakak lupa nutup pintu kandang….?”
“Gak tau…!”
“Ya, sudah... Mumpung belum gelap, ayo kita cari! Mudah-mudahan masih ketemu..” kata Ayah bijak.
Sore itu pun kami bergerilya mencari-cari kelinci. Baru menjelang adzan maghrib, dua makhluk itu kami temukan tengah asyik makan di kebun belakang. Dan setelah diingat-ingat, ternyata kesalahan ada padaku. Aku lupa memberi mereka makan!!
***
Tiga bulan berlalu. Cimon dan Cimot bertambah montok. Badan mereka sudah lebih besar dari kucing. Aku tidak lagi bisa bebas menggendong mereka. Selain berat, kalau berontak, tendangan mereka makin kuat. Jadi semakin banyak pula cakaran akibat tendangan kaki mereka di tanganku. Kelinci-kelinciku juga semakin lincah, sehingga jika mereka dikeluarkan dari kandang, akan susah memasukkannya kembali.
Suatu pagi, kutemukan satu kelinciku, Cimot, diam di pojok kandang. Tidak mau makan, tidak mau beraktivitas. Ketika ku pegang, badannya panas. Cimot sakit! Aku bingung!
“Ayah, Cimot gak mau makan. Perutnya kempes. Badannya panas. Gimana ini??” tanyaku pada Ayah.
“Sebentar, Ayah browsingkan dulu di internet. Siapa tau ada solusinya..”
Berbagai cara kulakukan agar kelinciku sembuh. Kata ayah, kelinciku kedinginan, jadinya masuk angin. Cimot pun dipindahkan dari kandangnya, agar badannya lebih hangat dan agar tidak menular pada Cimon. Cimot diberi obat penurun panas. Seperti kalo aku sakit. Caranya dengan menghancurkan obat penurun panas, kemudian dicampur air, dan dimasukkan dalam spet, baru disuntikkan melalui mulut Cimot.
Namun semua usaha yang telah kulakukan gagal. Esok harinya Cimot mati. Kami sangat sedih, terutama adikku. Karena kesedihannya, adikku jadi malas makan. Akibatnya adikku sakit. Dia harus opname di rumah sakit. Seminggu penuh dia bed rest di rumah sakit. Jadilah aku sibuk sendiri. Tidak ada yang membantu mengurus Cimon ketika aku sekolah. Alhamdulillah, seminggu kemudian adikku diperbolehkan pulang.
***
Suatu malam, ketika hujan rintik-rintik, dan aku siap memejamkan mata, kudengar gonggongan anjing di belakang rumah.
“Kok ada anjing, sih?” gumamku perlahan.
Dengan rasa penasaran dan sedikit takut, aku ke pergi belakang rumah. Kulihat ada dua sosok berwarna hitam sedang menggonggong di depan kandang Cimon. Cimon panik. Berlari kesana kemari. Aku bingung harus bagaimana. Satu hal yang terpikir olehku : tongkat kayu. Tapi ternyata tak satu pun tongkat kayu kutemukan disekitarku.
Ketika aku sedang kebingungan, tiba-tiba saja Cimon melompat keluar kandang, dan langsung digigit oleh salah satu anjing hitam itu. Kedua anjing itu pun langsung berlari sambil menggigit mangsa dimulutnya. Dalam kepanikan, aku berlari menerobos rintik hujan, berusaha mengejar kedua anjing itu. Tapi apa daya, kedua anjing itu hilang dalam kelamnya malam.
Akhirnya aku menghentikan langkah kakiku. Berdiri mematung memandang gelapnya kebun belakang rumah dan menitikkan air mata. Samar kudengar suara Cimon menjerit kesakitan. Miris hati ini mendengarnya. Dengan langkah gontai, aku kembali ke dalam rumah. Berurai air mata, namun tanpa kata. (Nien Za)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar