Selasa, 07 Mei 2013

Cerpen Keempat


SI BAHLUL DAN HARTA KARUN

Alkisah, pada suatu masa, di sebuah negeri yang berpasir, hiduplah seorang perempuan tua bersama anaknya. Perempuan itu tinggal di sebuah rumah tua. Dulu, perempuan tua itu hidup berkecukupan bersama suami dan seorang anaknya. Hingga suatu ketika, kematian memisahkannya dengan suaminya. Dia pun merawat anaknya seorang diri dengan harta peninggalan suaminya. Namun, semakin lama harta peninggalan suaminya makin habis, hingga akhirnya ia jatuh miskin. Saking miskinnya, yang dia punyai hanyalah seorang anaknya yang bodoh dan seekor kambing.
Pada suatu pagi, perempuan itu mendapati bahwa sudah tidak ada makanan yang bisa mereka makan hari itu. Tak ada pilihan lain. Dia harus menjual satu-satunya kambing miliknya. Kemudian dia pun memanggil anaknya.
“Anakku, kemarilah!”
“Ya, Ummi. Ada apa?”
“Kita sudah tidak punya makanan hari ini, Anakku. Bawalah kambing kita ke pasar. Juallah agar kita dapat membeli beberapa potong roti dan gandum untuk persediaan makanan kita.”
“Baik, Ummi,” Jawab pemuda itu patuh.
“Semoga keberuntungan ada padamu hari ini. Semoga Allah melindungimu dan memberimu rezeki,” kata perempuan itu.
Kemudian berangkatlah pemuda itu ke pasar. Di tengah perjalanan, di suatu tempat yang sepi, bertemulah pemuda itu dengan seekor burung hantu yang sedang bertengger di atas sebuah batu besar. Pemuda itu pun bertanya,
“Apakah kau mau membeli kambingku?”
Burung hantu itu pun hanya bisa bersuara, ”Uh-Huu..!!”
“Hei! Jika kau mau memberi sepuluh dinar untuk kambing ini, maka kambing ini untukmu.”
“Uh-Huu..!!”
“Kau setuju? Baiklah, kambing ini untukmu. Semoga apa yang akan kau bayar ini memberi manfaat bagimu,” kata pemuda itu.
“Uh-Huu…!!”
“Sekarang mana sepuluh dinarnya?” Tanya pemuda itu.
“Uh-Huu…!!”
Lagi-lagi burung hantu itu hanya bersuara begitu.
“Baiklah..! Aku tunggu disini, sampai kau memberiku sepuluh dinar.”
Pemuda itu pun menunggu di dekat batu tempat burung hantu itu bertengger, hingga hari mulai gelap.
“Bagaimana? Kau mau memberiku sepuluh dinar pada hari ini atau tidak? Kalau kau belum punya uangnya, maka akan ku ambil besok.”
Pemuda itu pun meninggalkan kambingnya di dekat batu besar dan kembali ke rumahnya. Ketika sang ibu melihat anaknya pulang tanpa membawa kambing, dengan gembira sang ibu pun bertanya,
“Berapa uang yang kau peroleh darinya, Anakku?”
“Sepuluh dinar. Tapi aku setuju menunggu pembayarannya sampai besok,” jawab pemuda itu.
“Mengapa besok? Kita perlu makan hari ini, Anakku…”
“Karena dia belum punya uangnya, Ummi. Tapi dia setuju mau membayarnya besok,” jawab pemuda itu meyakinkan.
“Memangnya kau jual pada siapa kambing kita?” Tanya perempuan itu penasaran.
“Kepada seekor burung hantu yang ada di atas batu dan berkata “Uh-huu”. Dia berjanji akan membayar besok.”
Sang ibu pun hanya bisa menghela nafas, memaklumi kebodohan anaknya.
“Kita tidak akan mendapatkan sepuluh dinar atau sepotong roti atau pun sekantung gandum dari seekor burung hantu, Anakku….! Kau tunggu sampai tua pun, kau tak akan mendapatkan bayarannya. Semoga Allah mengampuni kebodohanmu…” kata sang ibu.
Keesokan harinya, pemuda itu pergi ke tempat dimana dia bertemu dengan burung hantu untuk menagih janjinya. Dan burung hantu itu masih bertengger di atas batu yang sama.
“Aku datang untuk mengambil sepuluh dinarku.” kata pemuda itu.
“Uh-Huu…!”
“Mana uangnya?”
“Uh-Huu…!”
“Kau mau bayar atau tidak?”
“Uh-Huu…!”
“Kau menipuku, ya??!!”
“Uh-Huu…!”
Lagi-lagi burung hantu hanya bersuara seperti itu.
Karena kesal telah menunggu lama, pemuda itu melempar burung hantu itu dengan sebuah batu. Burung hantu itu pun terkejut dan terbang. Pemuda itu lalu mengejarnya.
“Hei…! Jangan lari kau! Aku harus mendapatkan sepuluh dinarku hari ini! Atau aku harus berpuasa lagi hingga esok!” teriak pemuda itu.
Burung hantu itu terus terbang, menuju ke sebuah bukit, hingga masuk ke dalam sebuah celah di antara dua batu besar. Pemuda itu terus mengikutinya dan baru menyadari bahwa dia telah memasuki sebuah gua. Pemuda itu menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kuali dari tanah liat. Ketika dilihat, di dalam kuali itu terdapat kepingan-kepingan bulat berwarna kuning. Itu kepingan emas! Kemudian dia berseru pada burung hantu,
“Akan ku ambil apa yang menjadi hakku.”
Pemuda itu mengambil sepuluh keping emas, kemudian kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, pemuda itu menyerahkan sepuluh keping emas tersebut kepada ibunya. Dan perempuan tua itu pun terkejut melihatnya.
“Dari mana kau mendapatkan semua emas ini, Anakku?”
“Aku mengikuti burung hantu itu hingga ke guanya dan aku mengambil apa yang dia pinjam dariku.”
“Bisakah kau bawa aku kesana besok?”
“Ya, dengan senang hati.”
Perempuan itu pun kemudian membeli beberapa potong roti, sekantung gandum, buncis, dan berbagai jenis kacang dengan kepingan emas pemberian anaknya.
Esok paginya, sebelum anaknya bangun, perempuan tua itu memasak sepanci penuh buncis dan berbagai jenis kacang. Buncis dan kacang-kacang tersebut dimasukkan ke sebuah kantung dan diikatkan dipinggangnya. Kemudian dia membangunkan anaknya dan berangkat menuju gua burung hantu. Sepanjang perjalanan, sang pemuda terus bercerita mengenai pertemuannya dengan burung hantu dan bagaimana dia mendapatkan kepingan emas itu.
Setibanya di gua burung hantu, sang pemuda menunjukkan tempat dimana dia menemukan kuali berisi kepingan emas tersebut. Dan perempuan tua itu memasukkan kuali yang berisi kepingan emas itu ke dalam kantung lain yang telah ia persiapkan. Setelah selesai, mereka pun pulang.
Pemuda itu berlari-lari kecil di sepanjang perjalanan pulang. Dan sang ibu berjalan agak jauh di belakang anaknya sambil terus menerus melemparkan buncis dan kacang-kacangan ke udara. Di depannya, sang anak dengan sigap menangkap dan memasukkan buncis dan kacang-kacang itu ke dalam mulutnya, tanpa ia tahu dari mana datangnya buncis dan kacang-kacang itu. Yang ia tahu, langit telah menurunkan buncis dan kacang-kacang rebus pada hari itu.
Hari telah beranjak gelap ketika mereka sampai di rumah. Perempuan tua itu kemudian menggali sebuah lubang di dalam rumahnya dan menyimpan emas-emas itu di sana. Pemuda itu pun segera memberitahukan berita gembira tentang penemuan emas itu kepada para tetangga.
“Ummi-ku telah menemukan harta karun!” kata pemuda itu.
“Oh ya? Dimana dia menemukannya?”
“Di sebuah bukit. Di gua milik burung hantu.”
Para tetangga mulai tertarik dengan ceritanya.
“Kapan dia menemukannya?”
“Kemarin. Tepat sebelum turun hujan buncis dan kacang.” jawab pemuda itu dengan mata berbinar.
Mendengar jawaban sang pemuda, para tetangga hanya bisa tersenyum maklum dan menggeleng-gelengkan kepala, seraya berkata, “Dasar, Si Bahlul…!” Dan penemuan satu kuali kepingan emas itu pun tetap menjadi sebuah rahasia.

Sumber : Kisah-kisah fantastis dari negeri 1001 malam. Dengan perubahan seperlunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar