Jumat, 24 Mei 2013

Cerpen Ketujuh

MUMU
Pukul 06.55. Lima menit lagi cleaning service akan berdatangan dan membersihkan swalayan ini. Tak terkecuali Pak Amir dan Pak Jali, cleaning service yang bertugas di bagian ini, lantai tiga. Mereka akan datang lengkap dengan sapu, kemoceng, ember, alat pel, lap, dan pembersih kaca. Setengah jam kemudian, karyawan-karyawan yang lain akan segera berdatangan dan menempatkan diri pada posisi masing-masing, karena tepat pukul delapan swalayan ini akan di buka. Yah, begitulah! Lima hari di sini, sudah membuatku hafal dengan rutinitas karyawan di Swalayan Marina ini.
Aku adalah sebuah boneka sapi. Aku datang lima hari yang lalu. Aku ditempatkan di rak yang menempel di sudut ruangan bersebelahan dengan “Teddy Bear” dan “Shaun” beserta keluarganya.
Pukul 08.00. Swalayan Marina dibuka. Terdengar alunan musik dari speaker di tiap sudut ruangan. Kemudian terdengar suara operator yang mengucapkan selamat datang kepada para pelanggan yang mulai berdatangan.
Mataku tertuju pada eskalator di depan sana. Sebentar lagi, lantai tiga ini pun akan ramai. Aku berharap akan ada gadis kecil, remaja putri, ibu-ibu, bapak-bapak, atau siapalah yang datang ke sini, kemudian menghampiri rak di sudut ruangan ini, melihatku, menyentuhku, dan tertarik untuk membawaku pulang.
Satu dua orang terlihat memasuki lantai tiga. Tapi belum ada satu pun yang menghampiri sudut ruangan ini. Sepagi ini biasanya lantai satu yang ramai. Karena berisi barang-barang keperluan rumah tangga. Sedang lantai dua berisi pakaian dan lantai tiga berisi alat tulis serta mainan. Kalau pun ada yang naik ke lantai tiga, biasanya adalah mahasiswa atau mahasiswi yang sedang mencari alat tulis untuk keperluan kuliahnya.
Satu jam, dua jam, ada beberapa orang menghampiri tempat ini. Tapi mereka hanya sekedar melihat-lihat. Seperti hari-hari kemarin. Jadi, aku harus lebih bersabar lagi.
Lima jam kemudian, datanglah seorang gadis kecil ke sudut lantai tiga. Dia berdiri di depanku, melihat-lihat sederet boneka yang ada di rak ini. Matanya tertuju padaku. Diulurkannya tangan ke arahku, namun ditariknya kembali ketika dia menengok ke arah boneka panda. Ragu dia melangkah ke arah panda. Diambilnya si panda, dipeluk, tapi kemudian diletakkannya lagi. Dia pun berjalan kembali ke arahku. Akhirnya pilihannya jatuh kepadaku.
“Mama, Chika mau boneka sapi ini ya….” Teriaknya ke arah seorang wanita yang sejak tadi mengikutinya.
“Iya, sayang…” jawab wanita yang dipanggil mama itu bijak.
Ternyata gadis kecil itu bernama Chika. Akhirnya hari ini aku berpindah dari rak di sudut lantai tiga ini ke rumah Chika.
Rumah Chika ternyata sangat besar. Ketika aku memasuki kamarnya, kulihat banyak sekali boneka. Ada yang ditata rapi di lemari khusus, di meja kamar, dan di tempat tidur.
Chika memberiku nama Si Mumu. Karena sapi bunyinya “moooo..,” begitu katanya setiap kali ditanya. Aku pun suka dengan nama itu.
Chika sangat sayang padaku. Dia selalu membawaku kemana-mana. Makan, bermain, nonton tivi, tidur, aku selalu dibawa. Ketika bermain-main di taman kompleks, Chika membawaku dan memperlihatkanku pada teman-temannya yang kebetulan juga datang ke tempat itu.
Minggu pagi yang cerah, seperti biasa, Chika bermain di taman kompleks bersamaku. Pada minggu pagi, taman kompleks selalu ramai dengan orang-orang yang berolah raga. Tapi hari itu tak ada seorang pun temannya yang datang ke taman itu. Akhirnya Chika hanya bisa duduk sendirian sambil memandangi orang-orang yang sedang berlari pagi.
Saat itu, terlihat seorang gadis kecil di salah satu sudut taman sedang memperhatikan kami. Matanya tak pernah lepas dariku. Chika pun akhirnya menyadari bahwa ada seorang anak yang sedang memperhatikannya. Ia pun tersenyum dan melambaikan tangan ke arah anak itu.
“Sini…,” kata Chika.
Gadis kecil itu beranjak mendekat dengan sedikit ragu.
“Namamu siapa?” Tanya Chika pada anak itu.
“Mimi,” jawab anak itu.
“Oo.. Mimi. Namaku Chika,” kata Chika sambil mengulurkan tangannya.
Mimi menyambut uluran tangan Cika dan tersenyum.
“Boneka kamu bagus,” kata Mimi sambil memperhatikanku.
Makasih.. Boneka ini mamaku yang belikan. Namanya Si Mumu,” terang Chika.
“Eh, aku nggak ada temennya nih… Main sama-sama, yuk!” ajak Chika kemudian.
Mimi mengangguk senang dan mereka pun bermain bersama hingga siang menjelang. Tibalah saatnya untuk pulang. Mereka berjanji akan bermain bersama lagi di taman itu minggu depan.
***
Seminggu kemudian, Chika membawaku ke taman. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Dia ingin segera bertemu dengan Mimi dan bermain bersama. Chika menunggu di tempat yang telah dijanjikan, sambil matanya tak berhenti mencari-cari Mimi. Namun, hingga siang menjelang, sosok Mimi tak juga muncul.
“Mimi kemana, sih?! Kok nggak datang-datang?” gumam Chika tak sabar.
Chika meletakkanku di kursi taman dan berdiri. Melihat ke sana kemari, kalau-kalau ada Mimi di sana. Pada saat itu muncul Velly, teman Chika, dengan sepedanya.
“Hai, Chika…,” sapa Velly.
“Ngapain berdiri di sini?” sambungnya.
“Nyari Mimi. Kami berjanji mau bertemu di sini,” jawab Chika.
“Mimi siapa?’ Tanya Velly.
“Teman baruku. Kami bertemu di sini seminggu yang lalu,” jawab Chika.
“Ooo.. Sambil nunggu Mimi, kita main sepeda dulu, yuk. Aku yang boncengin,” ajak Velly.
Chika berpikir sebentar.
“Oke, deh!” jawabnya kemudian.
Chika pun bermain dengan Velly. Ketika hari telah siang dan Mimi tak juga mumcul, Chika memutuskan untuk pulang dengan membonceng Velly. Tapi Chika rupanya rmelupakan sesuatu. Dia meninggalkanku! Aku tergeletak sendirian di kursi taman ini.
Sampai menjelang sore, tak ada yang ingat padaku. Karena tak kulihat ada satu pun anggota keluarga Chika yang datang untuk mengambilku. Yaah….! Malam ini aku harus kedinginan di taman ini, batinku. Tiba-tiba datang seorang pemulung. Dia melihatku. Menimbang-nimbang. Menunggu agak lama di situ. Akhirnya dibawanya aku pulang.
Rumah pemulung itu terletak di belakang kompleks. Daerah dengan keadaan yang sangat kontras dengan kompleks di depannya. Daerah tempat berkumpulnya kaum miskin kota.
Aku dibawa masuk ke salah satu rumah yang sangat sederhana. Di salah satu sudut rumahnya terbaring seorang anak perempuan sebaya Chika.
“Mimi, lihat apa yang bapak bawa,” katanya pada anaknya.
Anak itu menengok. Dan ternyata itu adalah Mimi. Teman yang Chika cari. Aku pun mengerti kenapa hari ini Mimi tidak datang. Mimi sakit.
“Wah, boneka sapi!” mukanya sumringah tapi kemudian meredup kembali, menyadari bahwa bapaknya tidak mungkin sanggup membelikannya sebuah boneka.
“Bapak dapat dari mana?” sambungnya.
“Dari taman. Bapak melihat ada boneka tergeletak di kursi taman. Tadi bapak menunggu agak lama, tapi tak ada yang datang. Sementara bapak bawa dulu. Besuk bapak akan ke taman. Kalau ada yang mencarinya, akan kita kembalikan,” jawab bapak.
“Di taman??! Jangan-jangan ini Mumu,” gumam Mimi.
“Siapa, Nak?” Tanya bapak.
“Mungkin ini Mumu. Milik Chika. Teman Mimi. Kami berjanji akan bertemu di taman pagi ini,” jawab Chika.
“Ya, sudah. Boneka ini biar di sini dulu. Minggu depan, kalau kamu sudah sembuh, kamu kembalikan pada Chika ya…,” kata bapak.
 “Ya, Pak,” jawab Mimi.
Akhirnya, aku tinggal di rumah kecil milik Mimi. Meskipun rumah Mimi kecil dan tak begitu bersih, tapi aku senang. Karena Mimi sangat sayang padaku.
Seminggu berlalu. Mimi telah sembuh dari sakitnya. Minggu pagi ini, dia berniat ke taman untuk mengembalikan Mumu. Meskipun hatinya berat, karena dia terlanjur sayang pada Mumu. Tapi bagaimana pun Mumu bukan miliknya dan harus dikembalikan.
Taman masih sepi. Mimi menunggu di salah satu kursi taman. Tak berapa lama, gadis yang ditunggunya muncul.
“Chika!” panggil Mimi.
Chika berlari mendekat.
“Mimi, kenapa kemarin nggak datang? Eh, itu kok mirip Mumu?” Tanya Chika ketika matanya melihat boneka yang dipegang Mimi.
“Iya, maaf. Kemarin aku sakit. Ini mungkin Mumu. Bapakku menemukannya di kursi taman seminggu yang lalu.” Jawab Mimi.
“Iya. Ini Mumu. Waktu itu aku langsung pulang sama Velly,” kata Chika sambil meraihku dan memelukku.
“Makasih ya…”sambungnya.
Chika sangat senang aku kembali ke tangannya. Tapi kemudian Chika melihat kesedihan di mata Mimi.
“Kamu sedih ya berpisah sama Mumu?” Tanya Chika.
“Iya…” jawab Mimi.
Chika menimbang-nimbang sejenak. Kemudian dia menyodorkanku ke arah Mimi.
“Buat kamu,” kata Chika.
Mimi kaget. Dia mengambilku, kemudian memeluk Chika.
“Makasih, ya, Chika…” kata Mimi sambil berair mata.
Akhirnya, sejak hari itu aku menjadi milik Mimi dan tinggal bersamanya di rumah kecil mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar