Jumat, 17 Mei 2013

Cerpen Keenam


GERIMIS KALA SENJA
Senja ini langit gelap. Sebuah pertanda bahwa sebentar lagi hujan deras akan turun. Angin yang semakin kencang menambah kelabu suasana. Mayang berdiri dibalik jendela kaca ruang tamu. Pandangannya tertuju ke jalan depan rumah. Belum ada tanda-tanda bundanya kembali ke rumah. Ia takut. Ia sendiri dalam suasana yang semakin menakutkan. Kilasan-kilasan peristiwa hari ini pun terbayang kembali. Air mata Mayang mengalir seiring ketakutan, kecemasan, dan penyesalannya.
***
Seminggu yang lalu Ayah berjanji. Jika nilai UTSnya bagus, maka Ayah akan memberi Mayang hadiah. Karena Mayang sangat suka membaca, Mayang minta dibelikan lima buah buku cerita terbaru, untuk menambah koleksinya. Ayah pun setuju untuk membelikan lima buah buku cerita terbaru.
Tibalah saat pembagian hasil UTS. Ternyata, kesungguhan Mayang membuahkan hasil. Ia mendapatkan nilai tertinggi di antara teman-temannya. Mayang sangat senang. Terbayang sudah lima buah buku cerita terbaru yang dimintanya. Sepulang sekolah, ia akan mengajak Ayah Bundanya ke toko buku.
Mayang pulang dengan wajah berbinar. Ia ingin segera menunjukkan hasil UTSnya kepada orang tuanya dan menagih janji Ayah. Namun, ketika sampai di rumah, Ayah belum pulang. Bunda berkata bahwa Ayah harus ke luar kota. Karena ada tugas dari kantor dan belum tahu kapan akan pulang. Mayang kecewa. Ia pun meminta Bunda untuk mengantarnya ke toko buku. Namun, Bunda ada rapat penting yang tidak dapat ditinggalkan. Bunda berjanji mau membelikan besuk. Mayang marah. Ia mau dibelikan buku sekarang. Mayang pun berlari ke kamar dan menangis.
Bunda berusaha menghibur Mayang. Bunda berjanji akan membelikan buku cerita sepulang dari rapat nanti. Mayang pun akhirnya keluar dari kamar.
Sebelum Bunda berangkat, Bunda berpesan agar Mayang ganti baju dan makan. Dan juga berpesan untuk tetap berangkat TPA. Mayang pun menganggukkan kepala.
Pukul tiga sore,  Mayang sudah siap dengan tas dan sepedanya. Ia berangkat ke TPA. Hari itu Mbak Firda, pengajar TPAnya bercerita tentang sebuah kisah kepada Mayang dan teman-temannya.
Setelah semua tenang, Mbak Firda mulai bercerita.
“Alkisah, di sebuah desa, tinggallah seorang ibu dengan anaknya. Mereka hanya hidup berdua karena sang Ayah telah lama meninggal. Sang Anak mempunyai tabiat yang sangat buruk. Ia suka berbohong, berkelahi, mencuri, dan perilaku buruk yang lain. Namun sang Ibu tidak pernah lelah mendoakannya agar sang Anak insyaf dan merubah perilaku buruknya.
Tahun pun berganti, sang Anak tumbuh dewasa. Namun tabiatnya tidak kunjung berubah. Suatu hari sang Anak tertangkap karena mencuri dan dibawa kehadapan sang Raja. Sang Raja memutuskan bahwa sang Anak mendapat hukuman pancung.
Mendengar berita itu, sang Ibu sangat sedih. Ia pun pergi menghadap raja untuk memohon agar sang Anak diampuni. Dan jika sang Anak tak terampuni, sang Ibu rela untuk menggantikan hukumannya. Namun sang Raja tetap bersikukuh. Sang Anak harus dipancung esok hari, sesaat setelah lonceng dibunyikan.
Sang Ibu pun pulang dengan air mata bercucuran. Ia kemudian berdoa pada Tuhan, sambil menangis tersedu-sedu, hingga ia tertidur. Dalam tidurnya, sang Ibu bermimpi bertemu Tuhan.
Esok harinya, tibalah saat hukuman dijalankan. Sang Anak dibawa ke tempat eksekusi, disaksikan oleh semua penduduk. Sang Anak sangat ketakutan. Ia menyesali segala kesalahannya. Pada saat itu, ia teringat pada ibunya yang telah renta. Tanpa sadar, air matanya mengalir.
Tibalah saat hukuman pancung dijalankan. Semua penduduk menunggu dengan cemas. Namun, lonceng yang dinantikan tak segera berbunyi. Sang Raja pun bertanya, kenapa lonceng tak segera dibunyikan. Petugas lonceng mengatakan bahwa ia sudah menarik tali lonceng sejak tadi, namun ia heran karena lonceng tak berbunyi. Ketika mereka sedang keheranan, tiba-tiba dari tali lonceng mengalir darah. Mereka terkejut. Raja memerintahkan orang untuk naik ke atas, untuk melihat ada apa di sana. Ternyata di dalam lonceng tersebut, ada sesosok tubuh yang terikat di sana. Kepalanya hancur karena membentur dinding lonceng. Itulah sebabnya tali lonceng mengalirkan darah dan lonceng tidak bisa berbunyi. Tubuh itu pun diturunkan. Dan ternyata, itu adalah tubuh sang Ibu. Sang Anak pun menangis tersedu-sedu, ketika tahu jasad di depannya adalah jasad ibunya. Ia sangat menyesal karena telah durhaka pada ibu yang sangat menyayanginya.”
Mbak Firda menutup ceritanya, dengan berpesan bahwa sebagai anak, kita harus selalu patuh pada orang tua. Jangan sampai semua terlambat dan tinggal penyesalan.
Mayang pulang dengan perasaan tidak enak. Tadi pagi dia sudah marah dengan bundanya. Ketika langit semakin gelap dengan disertai angin kencang, Mayang semakin khawatir. Bunda kok tidak pulang-pulang ya? Padahal mau hujan. Ada apa ya? Batin Mayang cemas.
“Ya Allah, lindungi Bunda”, doa Mayang dalam hati.
Satu-persatu gerimis mulai turun. Mata Mayang masih menatap jalanan depan rumah. Bunda belum juga kelihatan.
Gerimis mulai menderas. Tak terasa, air mata Mayang meleleh. Kegundahan menyiksa Mayang. Tiba-tiba, dari derasnya hujan, muncul sepeda motor yang dikendarai oleh seseorang yang memakai jas hujan biru
“Itu Bunda!” pekik Mayang.
Mayang pun berlari menyongsong kedatangan Bunda. Mayang kemudian memeluk tubuh Bundanya dengan tangis bahagia seraya berkata “Mayang sayang Bunda. Maafkan Mayang, ya…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar