Sabtu, 11 Mei 2013

Cerpen Kelima

HANTU DI ATAS JEMBATAN

Alkisah, tersebutlah sebuah desa di kaki sebuah gunung yang berhawa sejuk.  Desa Banyu Urip, demikian nama desa ini. Sebuah desa dengan jarak rumah agak berjauhan dan berpenduduk tidak begitu padat. Desa ini dihuni oleh kurang lebih lima puluh kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bertani dan beternak. Kebanyakan penduduk mempunyai sepetak tanah di lereng gunung yang ditanami berbagai macam sayur dan buah-buahan.
Jauh di sebelah timur Desa Banyu Urip, terdapatlah sebuah desa yang bernama Desa Banyu Biru. Jika dibandingkan dengan Desa Banyu Urip, desa ini lebih rendah letaknya. Lebih ke bawah dari puncak gunung. Akan tetapi, keadaan desa ini tak jauh berbeda dengan desa di sebelah baratnya. Jumlah penduduk desanya tidak lebih banyak dari jumlah penduduk Desa Banyu Urip, dengan jarak antar rumah yang tidak begitu rapat. Penduduknya pun kebanyakan bertani dan beternak serta berdagang.
Kedua desa ini dipisahkan oleh sebuah hutan kecil. Di tengah-tengah hutan ini terdapat sebuah sungai yang membelah hutan kecil ini menjadi dua bagian. Di atasnya membentang sebuah jembatan, yang menjadi penghubung kedua desa itu. Jembatan ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilewati, ketika para penduduk ingin pergi ke ladang atau pun ke pasar. Entah bagaimana awal mulanya, muncul cerita turun temurun bahwa ketika malam tiba, di sekitar hutan kecil itu banyak bermunculan makhluk-makhluk gaib.
***
Pak Darso adalah salah satu warga Desa Banyu Urip. Pak Darso memiliki sebuah kebun yang luas di belakang rumahnya. Kebun itu ditanami berbagai macam sayuran. Pada salah satu sudut kebunnya, terdapat sebuah kolam ikan dan sebuah kandang ayam pada sudut yang lain.
Ikan-ikan dalam kolam Pak Darso sudah besar-besar, maka tibalah saatnya untuk memanen ikan-ikan peliharaan tersebut. Pak Darso memanen ikan-ikannya dengan jala. Hasilnya lumayan banyak! Karena Pak Darso dan istrinya adalah orang yang sangat murah hati, maka selain dikonsumsi sendiri, ikan-ikan itu ada yang dibagikan pada tetangga, dan sisanya dijual.
Pagi itu, setelah Pak Darso selesai menjala ikan, istri Pak Darso berniat menggoreng ikan hasil panen suaminya. Tetapi dia mendapati bahwa ternyata wajan miliknya satu-satunya sudah berlubang. Maka, ketika Pak Darso akan menjual ikan-ikannya di pasar, ia meminta Pak Darso untuk membelikannya sebuah wajan baru.
Satu-satunya pasar desa terletak di Desa Banyu Biru. Sehingga, untuk sampai di pasar itu, Pak Darso harus berjalan kaki menuruni lereng gunung dan melewati hutan kecil, yang merupakan perbatasan desa. Ketika Pak Darso sampai di perbatasan desa, bertemulah dia dengan Pak Harjo.
“Assalamualaikum, Pak Harjo…”
“Wa’alaikumsalam, Pak Darso. Mau kemana, Pak? Ikannya banyak sekali...
“Iya, Pak. Ini, mau ke pasar. Mau menjual ikan-ikan saya. Tadi pagi saya menjalanya di kolam belakang rumah, jawab Pak Darso.
“Wah… Baru panen, ya? Semoga laku keras, ya!”
“Aaamiin..! Ngomong-ngomong, Pak Harjo mau kemana?”
“Mau ke ladang, Pak. Memeriksa tanaman-tanaman saya.”
“Ooo… Ya, sudah kalo begitu. Saya ke pasar dulu ya, Pak. Keburu siang.”
“Ya, Pak. Hati-hati! Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Pak Darso pun melanjutkan perjalanannya ke pasar, sedang Pak Harjo meneruskan langkahnya ke ladang.
***
Pak Harjo adalah seorang petani dari Desa Banyu Biru. Dia mempunyai sebuah ladang yang luas di lereng gunung di sebelah barat Desa Banyu Urip. Sehingga, jika mau ke ladang, dia harus melewati hutan kecil itu dan menapaki jalan yang menanjak serta berkelok-kelok.
Berbagai macam sayuran dan buah ditanam di ladang Pak Harjo. Diantaranya ada wortel, kol, sawi, semangka, dan strawberry. Melihat tanaman-tanamannya yang menghijau dan tumbuh subur, Pak Harjo jadi lebih bersemangat bekerja di ladangnya. Saking semangatnya, Pak Harjo lupa bahwa dia telah menghabiskan seluruh waktunya. Hingga tanpa terasa sore sudah menjelang. Pak Harjo pun bersiap-siap pulang. Tak lupa, Pak Harjo memetik salah satu semangkanya yang besar dan telah tua untuk dibawa pulang.
Kabut mulai turun dan mendung pun tampak bergayut di atas sana. Nampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Pak Harjo meletakkan semangkanya di atas kepala sambil memeganginya dengan kedua belah tangannya. Dia berjalan menuruni lereng gunung dengan agak tergesa-gesa. Dia berharap agar segera sampai di rumah sebelum hujan membasahi alam raya.
Pada saat yang sama Pak Darso sedang bersiap-siap pulang dari rumah kerabatnya. Siang tadi, setelah menyelesaikan perniagaannya dan berbelanja kebutuhan rumah tangga serta membeli sebuah wajan untuk istrinya, Pak Darso pergi ke rumah kerabatnya, untuk memberikan beberapa ekor ikan hasil panennya.
Kerabat Pak Harjo, yang bernama Pak Jono, baru pulang dari kota. Dia bekerja di kota dan pulang satu tahun sekali. Pak Jono banyak bercerita tentang pengalamannya di kota. Saking asyiknya bercerita, Pak Darso sampai lupa waktu. Dia pun berpamitan setelah menyadari bahwa sore telah tiba dan mendung telah merata di angkasa.
Pak Darso pun berpamitan. Dia menenteng barang belanjaan dan sedikit oleh-oleh dari Pak Jono dengan tangan kanannya, sementara tangannya yang lain menenteng wajan titipan istrinya. Dia berjalan cepat agar segera sampai di rumah.
***
Gelap mulai menyelimuti dan satu-satu tetes hujan mulai jatuh membasahi bumi. Namun Pak Harjo belum juga mencapai perbatasan desa. Dia mulai khawatir. Sebentar lagi dia akan sampai di perbatasan desa dan harus melewati jembatan itu. Tapi tak ada pilihan lain. Dia harus melewati jembatan itu. Pak Harjo pun segera mempercepat langkahnya.
Pak Harjo memperlambat langkahnya ketika sampai di ujung jembatan. Dia ragu. Dalam ketakutan yang mulai merayapinya, ia menahan nafas, menajamkan mata dan telinganya. Tak ada siapa pun. Hanya suara binatang malam yang sesekali berbunyi dan mengagetkannya. Kemudian dia memantapkan langkahnya untuk melewati jembatan itu sambil menajamkan pandangannya.
Hampir mencapai tengah jembatan. Pak Harjo berhenti. Dia melihat ada sesuatu yang bergerak di depan sana. Sesuatu yang makin lama makin terlihat seperti bayangan seseorang berpayung ada di depan sana. Bayangan itu bergerak dengan cepat, namun makin lama melambat, dan berhenti tepat di ujung lain jembatan. Ketakutan menguasainya. Hanya satu hal yang melintas dalam kepalanya. HANTU WANITA BERPAYUNG!!!
Dalam beberapa detik, Pak Harjo terpaku ditempatnya. Terbelalak dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Detik berikutnya, ketika siluet wanita berpayung di depannya bergerak memutar, Pak Harjo secepat kilat berbalik arah, berteriak ketakutan, dan berlari secepatnya menuju Desa Banyu Urip.
***
Pak Darso terus mempercepat langkahnya. Ketika gerimis mulai turun, dia ingin berteduh, tapi dia juga harus segera sampai dirumah. Dia pun menemukan akal. Wajan yang ditenteng di tangan kirinya, digunakannya untuk menutup kepalanya, layaknya sedang memakai payung.
Pak Darso terus berjalan berpayung wajan. Hingga dia tiba di perbatasan desa. Sebentar lagi dia akan melintasi jembatan di tengah hutan. Pak Darso semakin mempercepat langkahnya. Dan ketika dia hampir mencapai ujung jembatan, dia melihat sesosok hitam berdiri di tengah jembatan. Pak Darso memperlambat langkahnya dan berhenti tepat di ujung jembatan. Tubuhnya mulai gemetar ketakutan. Ditajamkannya matanya dan terlihatlah olehnya bahwa makhluk di depannya adalah HANTU BERKEPALA BESAR!!! Secepat kilat Pak Darso membalikkan badan dan berlari, kembali ke desa Banyu Biru, ke rumah kerabatnya.
***
Mentari telah muncul dari peraduannya. Pasar Desa Banyu Biru ramai. Tetapi, hari ini keramaian itu tidak seperti biasanya. Orang-orang sibuk membicarakan sebuah kabar, yang sudah tidak jelas lagi darimana asalnya, yaitu bahwa “semalam ada orang yang melihat HANTU DI ATAS JEMBATAN!!!” (Sumber : Dongeng Masa Kecil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar