Sabtu, 11 Mei 2013

Pesan di Tengah Malam

Rasanya baru saja diri ini terlelap, namun mata ini sudah kembali terbuka. Kulihat ponsel di sampingku. Ah… Masih di dua pertiga malam. Berarti, belum satu jam aku memejamkan mata. Aku menggeliat. Ku pandangi langit-langit kamar, mencari-cari kantuk yang tiba-tiba hilang. Kurasakan waktu bergulir lebih lama dari biasanya.
Malam yang gelisah membuat mata ini tak mau terpejam lagi. Aku bangkit dari ranjangku dan duduk di kursi di depan meja kerjaku. Ku sentuh netbook biru yang tergeletak di situ. Mungkin sebaiknya aku menulis sesuatu, pikirku. Dan segera saja kedua tangan ini terhulur untuk membuka netbook di depanku. Tiba-tiba ponselku berbunyi ketika jari kananku hendak menekan tombol power. Aku pun urung menyalakan netbook dan segera mengambil ponselku. Ada pesan masuk dari sebuah nomor baru. Tapi dengan segera aku dapat mengenali siapa pemilik nomor cantik itu. Dan tiba-tiba saja dadaku berdegup kencang, tanganku gemetar, dan serasa ada seember air es mengguyur tubuhku.
Ku buka pesan itu. Segera saja isi pesan itu terbaca olehku.
“Assalamu’alaikum.. Afwan, Ukh. Setelah dipertimbangkan, dengan berat hati, saya tidak bisa melanjutkan taaruf ini.”
Aku terduduk di kursi. Tersandar tanpa ekspresi dan tanpa air mata. Perasaan ini menghampa. Beberapa detik kemudian, aku tersadar dan segera berpikir, mencari jawaban yang tepat.
“Wa’alaikumsalam.. Ya, tidak apa-apa. Mungkin ini yang terbaik untuk kita,” Kutuliskan jawaban itu dengan cepat. Aku terdiam sejenak. Kubaca kembali pesan di layar ponselku. Aku menghela nafas dan segera mengirimkan pesan itu.
Aku termangu di depan meja kerjaku. Dua bulan aku menanti sebuah kepastian. Dan akhirnya, keputusan inilah yang ku dapat. Perlahan-lahan, gurat kekecewaan merayapi dinding hati. Aku terluka. Aku patah hati. Tapi tunggu dulu! Kenapa aku kecewa? Kenapa aku terluka? Kenapa aku patah hati? Seharusnya kan, aku tak perlu terluka atau pun patah hati. Apakah ada sesuatu yang telah menghiasi relung hati? Apakah dua bulan penantian itu telah menumbuhkan sebuah pengharapan besar? Pengharapan yang akhirnya berujung pada satu kata. Cinta. Aah… malangnya.
Kehampaan pun menghampiri hati ini, seakan separuh nafasku telah hilang. Ketimpangan menghampiri hati ini, seakan sepotong sayapku telah patah. Satu sisi ruang hatiku kini kosong. Karena bayangan yang mengisi ruangnya, telah pergi dari tempatnya. Dan segumpal asa yang ada di dalamnya, turut hilang bersamanya.
Pikiranku pun melayang ke masa-masa yang telah lalu. Mengurai kembali apa yang telah terjalani. Hingga aku sampai pada satu tanya, “apa yang salah dengan diri ini?”
Dentangan jam dinding dari ruang tamu membuyarkan lamunanku. Tepat tengah malam. Aku beranjak dari kursi. Perlahan ku buka handle pintu kamar. Ku langkahkan kakiku ke halaman belakang rumah. Hanya kegelapan yang ku temui. Gelap yang pekat, sepekat hatiku saat ini. Ku dongakkan kepala. Ku pandangi langit malam. Ku cari sekelip bintang di atas sana. Namun, tak kutemui apa-apa.
Dalam keresahan yang kian menelan kesabaran, ku ambil air wudhu. Hari ini aku bermunajat pada-Nya lebih awal dari biasanya. Ada lebih banyak hal yang ingin ku perbincangkan dengan Tuhan. Menceritakan lara hati, mengadukan kekecewaan hati, dan meminta penawar luka hati.
Seiring pengaduanku pada-Nya, akhirnya, tanpa terbendung lagi, air mata ini menjebol benteng pertahanan diri. Seperti jebolnya tanggul Situ Gintung yang tak terkendali.
“Yaa, Robbii… Cukuplah air mata ini menetes di hadapan-Mu. Janganlah Kau teteskan air mata ini di depan hamba-Mu. Berilah diriku kesabaran atas cobaan ini. Bantulah aku agar tetap tegak berdiri. Dan segera tumbuhkanlah apa yang telah patah serta gantikanlah apa yang telah hilang”.
Diantara doa yang panjang, terselip satu pinta, semoga Tuhan mendamaikan hatiku atas setiap ketentuan-Nya.
Aku pun teringat pada sebuah tulisan. Bahwa kesedihan adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk tetap bersedih atau bersabar. Jika pilihan itu ada pada kesedihan, maka kita akan diperbudak oleh kesedihan itu dan terkungkung pada satu keterpurukan yang tak berujung. Namun, jika kita memilih bersabar, maka kita bisa bangkit lagi, untuk lebih tegar menghadapi kehidupan.
Cukuplah kesedihan ada di penghujung malam ini. Semoga esok pagi, Tuhan mendamaikan hatiku dan menganugerahiku ketegaran hati. Sehingga aku bisa melangkah dengan ringan dan mengembangkan senyuman.

(280413/22.41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar