Rasanya baru saja diri ini
terlelap, namun mata ini sudah kembali terbuka. Kulihat ponsel di sampingku.
Ah… Masih di dua pertiga malam. Berarti, belum satu jam aku memejamkan mata.
Aku menggeliat. Ku pandangi langit-langit kamar, mencari-cari kantuk yang tiba-tiba
hilang. Kurasakan waktu bergulir lebih lama dari biasanya.
Malam yang gelisah membuat mata
ini tak mau terpejam lagi. Aku bangkit dari ranjangku dan duduk di kursi di
depan meja kerjaku. Ku sentuh netbook biru yang tergeletak di situ. Mungkin sebaiknya
aku menulis sesuatu, pikirku. Dan segera saja kedua tangan ini terhulur untuk
membuka netbook di depanku. Tiba-tiba ponselku berbunyi ketika jari kananku
hendak menekan tombol power. Aku pun urung menyalakan netbook dan segera
mengambil ponselku. Ada pesan masuk dari sebuah nomor baru. Tapi dengan segera
aku dapat mengenali siapa pemilik nomor cantik itu. Dan tiba-tiba saja dadaku
berdegup kencang, tanganku gemetar, dan serasa ada seember air es mengguyur
tubuhku.
Ku buka pesan itu. Segera saja isi
pesan itu terbaca olehku.
“Assalamu’alaikum.. Afwan, Ukh.
Setelah dipertimbangkan, dengan berat hati, saya tidak bisa melanjutkan taaruf
ini.”
Aku terduduk di kursi. Tersandar
tanpa ekspresi dan tanpa air mata. Perasaan ini menghampa. Beberapa detik
kemudian, aku tersadar dan segera berpikir, mencari jawaban yang tepat.
“Wa’alaikumsalam.. Ya, tidak
apa-apa. Mungkin ini yang terbaik untuk kita,” Kutuliskan jawaban itu dengan
cepat. Aku terdiam sejenak. Kubaca kembali pesan di layar ponselku. Aku
menghela nafas dan segera mengirimkan pesan itu.
Aku termangu di depan meja
kerjaku. Dua bulan aku menanti sebuah kepastian. Dan akhirnya, keputusan inilah
yang ku dapat. Perlahan-lahan, gurat kekecewaan merayapi dinding hati. Aku
terluka. Aku patah hati. Tapi tunggu dulu! Kenapa aku kecewa? Kenapa aku
terluka? Kenapa aku patah hati? Seharusnya kan, aku tak perlu terluka atau pun
patah hati. Apakah ada sesuatu yang telah menghiasi relung hati? Apakah dua
bulan penantian itu telah menumbuhkan sebuah pengharapan besar? Pengharapan
yang akhirnya berujung pada satu kata. Cinta. Aah… malangnya.
Kehampaan pun menghampiri hati
ini, seakan separuh nafasku telah hilang. Ketimpangan menghampiri hati ini,
seakan sepotong sayapku telah patah. Satu sisi ruang hatiku kini kosong. Karena
bayangan yang mengisi ruangnya, telah pergi dari tempatnya. Dan segumpal asa
yang ada di dalamnya, turut hilang bersamanya.
Pikiranku pun melayang ke
masa-masa yang telah lalu. Mengurai kembali apa yang telah terjalani. Hingga
aku sampai pada satu tanya, “apa yang salah dengan diri ini?”
Dentangan jam dinding dari ruang
tamu membuyarkan lamunanku. Tepat tengah malam. Aku beranjak dari kursi. Perlahan
ku buka handle pintu kamar. Ku langkahkan kakiku ke halaman belakang rumah.
Hanya kegelapan yang ku temui. Gelap yang pekat, sepekat hatiku saat ini. Ku
dongakkan kepala. Ku pandangi langit malam. Ku cari sekelip bintang di atas sana.
Namun, tak kutemui apa-apa.
Dalam keresahan yang kian menelan
kesabaran, ku ambil air wudhu. Hari ini aku bermunajat pada-Nya lebih awal dari
biasanya. Ada lebih banyak hal yang ingin ku perbincangkan dengan Tuhan.
Menceritakan lara hati, mengadukan kekecewaan hati, dan meminta penawar luka
hati.
Seiring pengaduanku pada-Nya, akhirnya,
tanpa terbendung lagi, air mata ini menjebol benteng pertahanan diri. Seperti
jebolnya tanggul Situ Gintung yang tak terkendali.
“Yaa, Robbii… Cukuplah air mata ini menetes di
hadapan-Mu. Janganlah Kau teteskan air mata ini di depan hamba-Mu. Berilah
diriku kesabaran atas cobaan ini. Bantulah aku agar tetap tegak berdiri. Dan
segera tumbuhkanlah apa yang telah patah serta gantikanlah apa yang telah
hilang”.
Diantara doa yang panjang,
terselip satu pinta, semoga Tuhan mendamaikan hatiku atas setiap ketentuan-Nya.
Aku pun teringat pada sebuah
tulisan. Bahwa kesedihan adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk tetap bersedih
atau bersabar. Jika pilihan itu ada pada kesedihan, maka kita akan diperbudak
oleh kesedihan itu dan terkungkung pada satu keterpurukan yang tak berujung.
Namun, jika kita memilih bersabar, maka kita bisa bangkit lagi, untuk lebih
tegar menghadapi kehidupan.
Cukuplah kesedihan ada di
penghujung malam ini. Semoga esok pagi, Tuhan mendamaikan hatiku dan
menganugerahiku ketegaran hati. Sehingga aku bisa melangkah dengan ringan dan
mengembangkan senyuman.
(280413/22.41)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar