MUMU
Pukul
06.55. Lima menit lagi cleaning service akan berdatangan dan
membersihkan swalayan ini. Tak terkecuali Pak Amir dan Pak Jali, cleaning service yang bertugas di bagian
ini, lantai tiga. Mereka akan datang lengkap dengan sapu, kemoceng, ember, alat
pel, lap, dan pembersih kaca. Setengah jam kemudian, karyawan-karyawan yang
lain akan segera berdatangan dan menempatkan diri pada posisi masing-masing, karena
tepat pukul delapan swalayan ini akan di buka. Yah, begitulah! Lima hari di
sini, sudah membuatku hafal dengan rutinitas karyawan di Swalayan Marina ini.
Aku
adalah sebuah boneka sapi. Aku datang lima hari yang lalu. Aku ditempatkan di
rak yang menempel di sudut ruangan bersebelahan dengan “Teddy Bear” dan “Shaun”
beserta keluarganya.
Pukul
08.00. Swalayan Marina dibuka. Terdengar
alunan musik dari speaker di tiap
sudut ruangan. Kemudian terdengar suara operator yang mengucapkan selamat
datang kepada para pelanggan yang mulai berdatangan.
Mataku
tertuju pada eskalator di depan sana. Sebentar lagi, lantai tiga ini pun akan
ramai. Aku berharap akan ada gadis kecil, remaja putri, ibu-ibu, bapak-bapak,
atau siapalah yang datang ke sini, kemudian menghampiri rak di sudut ruangan ini,
melihatku, menyentuhku, dan tertarik untuk membawaku pulang.
Satu
dua orang terlihat memasuki lantai tiga. Tapi belum ada satu pun yang
menghampiri sudut ruangan ini. Sepagi ini biasanya lantai satu yang ramai.
Karena berisi barang-barang keperluan rumah tangga. Sedang lantai dua berisi
pakaian dan lantai tiga berisi alat tulis serta mainan. Kalau pun ada yang naik
ke lantai tiga, biasanya adalah mahasiswa atau mahasiswi yang sedang mencari
alat tulis untuk keperluan kuliahnya.
Satu
jam, dua jam, ada beberapa orang menghampiri tempat ini. Tapi mereka hanya
sekedar melihat-lihat. Seperti hari-hari kemarin. Jadi, aku harus lebih
bersabar lagi.
Lima
jam kemudian, datanglah seorang gadis kecil ke sudut lantai tiga. Dia berdiri
di depanku, melihat-lihat sederet boneka yang ada di rak ini. Matanya tertuju
padaku. Diulurkannya tangan ke arahku, namun ditariknya kembali ketika dia
menengok ke arah boneka panda. Ragu dia melangkah ke arah panda. Diambilnya si
panda, dipeluk, tapi kemudian diletakkannya lagi. Dia pun berjalan kembali
ke arahku. Akhirnya pilihannya jatuh kepadaku.
“Mama,
Chika mau boneka sapi ini ya….” Teriaknya ke arah seorang wanita yang sejak tadi
mengikutinya.
“Iya,
sayang…” jawab wanita yang dipanggil mama itu bijak.
Ternyata
gadis kecil itu bernama Chika. Akhirnya hari ini aku berpindah dari rak di
sudut lantai tiga ini ke rumah Chika.
Rumah
Chika ternyata sangat besar. Ketika aku memasuki kamarnya, kulihat banyak
sekali boneka. Ada yang ditata rapi di lemari khusus, di meja kamar, dan di
tempat tidur.
Chika
memberiku nama Si Mumu. Karena sapi bunyinya “moooo..,” begitu katanya setiap
kali ditanya. Aku pun suka dengan nama itu.
Chika
sangat sayang padaku. Dia selalu membawaku kemana-mana. Makan, bermain, nonton tivi,
tidur, aku selalu dibawa. Ketika bermain-main di taman kompleks, Chika
membawaku dan memperlihatkanku pada teman-temannya yang kebetulan juga datang
ke tempat itu.
Minggu
pagi yang cerah, seperti biasa, Chika bermain di taman kompleks bersamaku. Pada
minggu pagi, taman kompleks selalu ramai dengan orang-orang yang berolah raga.
Tapi hari itu tak ada seorang pun temannya yang datang ke taman itu. Akhirnya
Chika hanya bisa duduk sendirian sambil memandangi orang-orang yang sedang
berlari pagi.
Saat
itu, terlihat seorang gadis kecil di salah satu sudut taman sedang
memperhatikan kami. Matanya tak pernah lepas dariku. Chika pun akhirnya
menyadari bahwa ada seorang anak yang sedang memperhatikannya. Ia pun tersenyum
dan melambaikan tangan ke arah anak itu.
“Sini…,”
kata Chika.
Gadis
kecil itu beranjak mendekat dengan sedikit ragu.
“Namamu
siapa?” Tanya Chika pada anak itu.
“Mimi,”
jawab anak itu.
“Oo..
Mimi. Namaku Chika,” kata Chika sambil mengulurkan tangannya.
Mimi
menyambut uluran tangan Cika dan tersenyum.
“Boneka
kamu bagus,” kata Mimi sambil memperhatikanku.
“Makasih.. Boneka ini mamaku yang
belikan. Namanya Si Mumu,” terang Chika.
“Eh,
aku nggak ada temennya nih… Main sama-sama, yuk!” ajak Chika kemudian.
Mimi
mengangguk senang dan mereka pun bermain bersama hingga siang menjelang.
Tibalah saatnya untuk pulang. Mereka berjanji akan bermain bersama lagi di
taman itu minggu depan.
***
Seminggu
kemudian, Chika membawaku ke taman. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Dia ingin
segera bertemu dengan Mimi dan bermain bersama. Chika menunggu di tempat yang
telah dijanjikan, sambil matanya tak berhenti mencari-cari Mimi. Namun, hingga
siang menjelang, sosok Mimi tak juga muncul.
“Mimi
kemana, sih?! Kok nggak datang-datang?” gumam Chika tak sabar.
Chika
meletakkanku di kursi taman dan berdiri. Melihat ke sana kemari, kalau-kalau
ada Mimi di sana. Pada saat itu muncul Velly, teman Chika, dengan sepedanya.
“Hai,
Chika…,” sapa Velly.
“Ngapain
berdiri di sini?” sambungnya.
“Nyari
Mimi. Kami berjanji mau bertemu di sini,” jawab Chika.
“Mimi
siapa?’ Tanya Velly.
“Teman
baruku. Kami bertemu di sini seminggu yang lalu,” jawab Chika.
“Ooo..
Sambil nunggu Mimi, kita main sepeda dulu, yuk. Aku yang boncengin,” ajak
Velly.
Chika
berpikir sebentar.
“Oke,
deh!” jawabnya kemudian.
Chika
pun bermain dengan Velly. Ketika hari telah siang dan Mimi tak juga mumcul,
Chika memutuskan untuk pulang dengan membonceng Velly. Tapi Chika rupanya rmelupakan
sesuatu. Dia meninggalkanku! Aku tergeletak sendirian di kursi taman ini.
Sampai
menjelang sore, tak ada yang ingat padaku. Karena tak kulihat ada satu pun
anggota keluarga Chika yang datang untuk mengambilku. Yaah….! Malam ini aku
harus kedinginan di taman ini, batinku. Tiba-tiba datang seorang pemulung. Dia
melihatku. Menimbang-nimbang. Menunggu agak lama di situ. Akhirnya dibawanya aku
pulang.
Rumah
pemulung itu terletak di belakang kompleks. Daerah dengan keadaan yang sangat
kontras dengan kompleks di depannya. Daerah tempat berkumpulnya kaum miskin
kota.
Aku
dibawa masuk ke salah satu rumah yang sangat sederhana. Di salah satu sudut
rumahnya terbaring seorang anak perempuan sebaya Chika.
“Mimi,
lihat apa yang bapak bawa,” katanya pada anaknya.
Anak
itu menengok. Dan ternyata itu adalah Mimi. Teman yang Chika cari. Aku pun
mengerti kenapa hari ini Mimi tidak datang. Mimi sakit.
“Wah, boneka sapi!” mukanya sumringah tapi kemudian meredup kembali, menyadari
bahwa bapaknya tidak mungkin sanggup membelikannya sebuah boneka.
“Bapak
dapat dari mana?” sambungnya.
“Dari
taman. Bapak melihat ada boneka tergeletak di kursi taman. Tadi bapak menunggu
agak lama, tapi tak ada yang datang. Sementara bapak bawa dulu. Besuk bapak
akan ke taman. Kalau ada yang mencarinya, akan kita kembalikan,” jawab bapak.
“Di
taman??! Jangan-jangan ini Mumu,” gumam Mimi.
“Siapa,
Nak?” Tanya bapak.
“Mungkin
ini Mumu. Milik Chika. Teman Mimi. Kami berjanji akan bertemu di taman pagi
ini,” jawab Chika.
“Ya,
sudah. Boneka ini biar di sini dulu. Minggu depan, kalau kamu sudah sembuh, kamu
kembalikan pada Chika ya…,” kata bapak.
“Ya, Pak,” jawab Mimi.
Akhirnya,
aku tinggal di rumah kecil milik Mimi. Meskipun rumah Mimi kecil dan tak begitu
bersih, tapi aku senang. Karena Mimi sangat sayang padaku.
Seminggu
berlalu. Mimi telah sembuh dari sakitnya. Minggu pagi ini, dia berniat ke taman
untuk mengembalikan Mumu. Meskipun hatinya berat, karena dia terlanjur sayang
pada Mumu. Tapi bagaimana pun Mumu bukan miliknya dan harus dikembalikan.
Taman
masih sepi. Mimi menunggu di salah satu kursi taman. Tak berapa lama, gadis
yang ditunggunya muncul.
“Chika!”
panggil Mimi.
Chika
berlari mendekat.
“Mimi,
kenapa kemarin nggak datang? Eh, itu kok mirip Mumu?” Tanya Chika ketika
matanya melihat boneka yang dipegang Mimi.
“Iya,
maaf. Kemarin aku sakit. Ini mungkin Mumu. Bapakku menemukannya di kursi taman
seminggu yang lalu.” Jawab Mimi.
“Iya.
Ini Mumu. Waktu itu aku langsung pulang sama Velly,” kata Chika sambil meraihku
dan memelukku.
“Makasih
ya…”sambungnya.
Chika
sangat senang aku kembali ke tangannya. Tapi kemudian Chika melihat kesedihan
di mata Mimi.
“Kamu
sedih ya berpisah sama Mumu?” Tanya Chika.
“Iya…”
jawab Mimi.
Chika
menimbang-nimbang sejenak. Kemudian dia menyodorkanku ke arah Mimi.
“Buat
kamu,” kata Chika.
Mimi
kaget. Dia mengambilku, kemudian memeluk Chika.
“Makasih,
ya, Chika…” kata Mimi sambil berair mata.
Akhirnya,
sejak hari itu aku menjadi milik Mimi dan tinggal bersamanya di rumah kecil
mereka.