Jumat, 24 Mei 2013

Cerpen Ketujuh

MUMU
Pukul 06.55. Lima menit lagi cleaning service akan berdatangan dan membersihkan swalayan ini. Tak terkecuali Pak Amir dan Pak Jali, cleaning service yang bertugas di bagian ini, lantai tiga. Mereka akan datang lengkap dengan sapu, kemoceng, ember, alat pel, lap, dan pembersih kaca. Setengah jam kemudian, karyawan-karyawan yang lain akan segera berdatangan dan menempatkan diri pada posisi masing-masing, karena tepat pukul delapan swalayan ini akan di buka. Yah, begitulah! Lima hari di sini, sudah membuatku hafal dengan rutinitas karyawan di Swalayan Marina ini.
Aku adalah sebuah boneka sapi. Aku datang lima hari yang lalu. Aku ditempatkan di rak yang menempel di sudut ruangan bersebelahan dengan “Teddy Bear” dan “Shaun” beserta keluarganya.
Pukul 08.00. Swalayan Marina dibuka. Terdengar alunan musik dari speaker di tiap sudut ruangan. Kemudian terdengar suara operator yang mengucapkan selamat datang kepada para pelanggan yang mulai berdatangan.
Mataku tertuju pada eskalator di depan sana. Sebentar lagi, lantai tiga ini pun akan ramai. Aku berharap akan ada gadis kecil, remaja putri, ibu-ibu, bapak-bapak, atau siapalah yang datang ke sini, kemudian menghampiri rak di sudut ruangan ini, melihatku, menyentuhku, dan tertarik untuk membawaku pulang.
Satu dua orang terlihat memasuki lantai tiga. Tapi belum ada satu pun yang menghampiri sudut ruangan ini. Sepagi ini biasanya lantai satu yang ramai. Karena berisi barang-barang keperluan rumah tangga. Sedang lantai dua berisi pakaian dan lantai tiga berisi alat tulis serta mainan. Kalau pun ada yang naik ke lantai tiga, biasanya adalah mahasiswa atau mahasiswi yang sedang mencari alat tulis untuk keperluan kuliahnya.
Satu jam, dua jam, ada beberapa orang menghampiri tempat ini. Tapi mereka hanya sekedar melihat-lihat. Seperti hari-hari kemarin. Jadi, aku harus lebih bersabar lagi.
Lima jam kemudian, datanglah seorang gadis kecil ke sudut lantai tiga. Dia berdiri di depanku, melihat-lihat sederet boneka yang ada di rak ini. Matanya tertuju padaku. Diulurkannya tangan ke arahku, namun ditariknya kembali ketika dia menengok ke arah boneka panda. Ragu dia melangkah ke arah panda. Diambilnya si panda, dipeluk, tapi kemudian diletakkannya lagi. Dia pun berjalan kembali ke arahku. Akhirnya pilihannya jatuh kepadaku.
“Mama, Chika mau boneka sapi ini ya….” Teriaknya ke arah seorang wanita yang sejak tadi mengikutinya.
“Iya, sayang…” jawab wanita yang dipanggil mama itu bijak.
Ternyata gadis kecil itu bernama Chika. Akhirnya hari ini aku berpindah dari rak di sudut lantai tiga ini ke rumah Chika.
Rumah Chika ternyata sangat besar. Ketika aku memasuki kamarnya, kulihat banyak sekali boneka. Ada yang ditata rapi di lemari khusus, di meja kamar, dan di tempat tidur.
Chika memberiku nama Si Mumu. Karena sapi bunyinya “moooo..,” begitu katanya setiap kali ditanya. Aku pun suka dengan nama itu.
Chika sangat sayang padaku. Dia selalu membawaku kemana-mana. Makan, bermain, nonton tivi, tidur, aku selalu dibawa. Ketika bermain-main di taman kompleks, Chika membawaku dan memperlihatkanku pada teman-temannya yang kebetulan juga datang ke tempat itu.
Minggu pagi yang cerah, seperti biasa, Chika bermain di taman kompleks bersamaku. Pada minggu pagi, taman kompleks selalu ramai dengan orang-orang yang berolah raga. Tapi hari itu tak ada seorang pun temannya yang datang ke taman itu. Akhirnya Chika hanya bisa duduk sendirian sambil memandangi orang-orang yang sedang berlari pagi.
Saat itu, terlihat seorang gadis kecil di salah satu sudut taman sedang memperhatikan kami. Matanya tak pernah lepas dariku. Chika pun akhirnya menyadari bahwa ada seorang anak yang sedang memperhatikannya. Ia pun tersenyum dan melambaikan tangan ke arah anak itu.
“Sini…,” kata Chika.
Gadis kecil itu beranjak mendekat dengan sedikit ragu.
“Namamu siapa?” Tanya Chika pada anak itu.
“Mimi,” jawab anak itu.
“Oo.. Mimi. Namaku Chika,” kata Chika sambil mengulurkan tangannya.
Mimi menyambut uluran tangan Cika dan tersenyum.
“Boneka kamu bagus,” kata Mimi sambil memperhatikanku.
Makasih.. Boneka ini mamaku yang belikan. Namanya Si Mumu,” terang Chika.
“Eh, aku nggak ada temennya nih… Main sama-sama, yuk!” ajak Chika kemudian.
Mimi mengangguk senang dan mereka pun bermain bersama hingga siang menjelang. Tibalah saatnya untuk pulang. Mereka berjanji akan bermain bersama lagi di taman itu minggu depan.
***
Seminggu kemudian, Chika membawaku ke taman. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Dia ingin segera bertemu dengan Mimi dan bermain bersama. Chika menunggu di tempat yang telah dijanjikan, sambil matanya tak berhenti mencari-cari Mimi. Namun, hingga siang menjelang, sosok Mimi tak juga muncul.
“Mimi kemana, sih?! Kok nggak datang-datang?” gumam Chika tak sabar.
Chika meletakkanku di kursi taman dan berdiri. Melihat ke sana kemari, kalau-kalau ada Mimi di sana. Pada saat itu muncul Velly, teman Chika, dengan sepedanya.
“Hai, Chika…,” sapa Velly.
“Ngapain berdiri di sini?” sambungnya.
“Nyari Mimi. Kami berjanji mau bertemu di sini,” jawab Chika.
“Mimi siapa?’ Tanya Velly.
“Teman baruku. Kami bertemu di sini seminggu yang lalu,” jawab Chika.
“Ooo.. Sambil nunggu Mimi, kita main sepeda dulu, yuk. Aku yang boncengin,” ajak Velly.
Chika berpikir sebentar.
“Oke, deh!” jawabnya kemudian.
Chika pun bermain dengan Velly. Ketika hari telah siang dan Mimi tak juga mumcul, Chika memutuskan untuk pulang dengan membonceng Velly. Tapi Chika rupanya rmelupakan sesuatu. Dia meninggalkanku! Aku tergeletak sendirian di kursi taman ini.
Sampai menjelang sore, tak ada yang ingat padaku. Karena tak kulihat ada satu pun anggota keluarga Chika yang datang untuk mengambilku. Yaah….! Malam ini aku harus kedinginan di taman ini, batinku. Tiba-tiba datang seorang pemulung. Dia melihatku. Menimbang-nimbang. Menunggu agak lama di situ. Akhirnya dibawanya aku pulang.
Rumah pemulung itu terletak di belakang kompleks. Daerah dengan keadaan yang sangat kontras dengan kompleks di depannya. Daerah tempat berkumpulnya kaum miskin kota.
Aku dibawa masuk ke salah satu rumah yang sangat sederhana. Di salah satu sudut rumahnya terbaring seorang anak perempuan sebaya Chika.
“Mimi, lihat apa yang bapak bawa,” katanya pada anaknya.
Anak itu menengok. Dan ternyata itu adalah Mimi. Teman yang Chika cari. Aku pun mengerti kenapa hari ini Mimi tidak datang. Mimi sakit.
“Wah, boneka sapi!” mukanya sumringah tapi kemudian meredup kembali, menyadari bahwa bapaknya tidak mungkin sanggup membelikannya sebuah boneka.
“Bapak dapat dari mana?” sambungnya.
“Dari taman. Bapak melihat ada boneka tergeletak di kursi taman. Tadi bapak menunggu agak lama, tapi tak ada yang datang. Sementara bapak bawa dulu. Besuk bapak akan ke taman. Kalau ada yang mencarinya, akan kita kembalikan,” jawab bapak.
“Di taman??! Jangan-jangan ini Mumu,” gumam Mimi.
“Siapa, Nak?” Tanya bapak.
“Mungkin ini Mumu. Milik Chika. Teman Mimi. Kami berjanji akan bertemu di taman pagi ini,” jawab Chika.
“Ya, sudah. Boneka ini biar di sini dulu. Minggu depan, kalau kamu sudah sembuh, kamu kembalikan pada Chika ya…,” kata bapak.
 “Ya, Pak,” jawab Mimi.
Akhirnya, aku tinggal di rumah kecil milik Mimi. Meskipun rumah Mimi kecil dan tak begitu bersih, tapi aku senang. Karena Mimi sangat sayang padaku.
Seminggu berlalu. Mimi telah sembuh dari sakitnya. Minggu pagi ini, dia berniat ke taman untuk mengembalikan Mumu. Meskipun hatinya berat, karena dia terlanjur sayang pada Mumu. Tapi bagaimana pun Mumu bukan miliknya dan harus dikembalikan.
Taman masih sepi. Mimi menunggu di salah satu kursi taman. Tak berapa lama, gadis yang ditunggunya muncul.
“Chika!” panggil Mimi.
Chika berlari mendekat.
“Mimi, kenapa kemarin nggak datang? Eh, itu kok mirip Mumu?” Tanya Chika ketika matanya melihat boneka yang dipegang Mimi.
“Iya, maaf. Kemarin aku sakit. Ini mungkin Mumu. Bapakku menemukannya di kursi taman seminggu yang lalu.” Jawab Mimi.
“Iya. Ini Mumu. Waktu itu aku langsung pulang sama Velly,” kata Chika sambil meraihku dan memelukku.
“Makasih ya…”sambungnya.
Chika sangat senang aku kembali ke tangannya. Tapi kemudian Chika melihat kesedihan di mata Mimi.
“Kamu sedih ya berpisah sama Mumu?” Tanya Chika.
“Iya…” jawab Mimi.
Chika menimbang-nimbang sejenak. Kemudian dia menyodorkanku ke arah Mimi.
“Buat kamu,” kata Chika.
Mimi kaget. Dia mengambilku, kemudian memeluk Chika.
“Makasih, ya, Chika…” kata Mimi sambil berair mata.
Akhirnya, sejak hari itu aku menjadi milik Mimi dan tinggal bersamanya di rumah kecil mereka.

Jumat, 17 Mei 2013

Cerpen Keenam


GERIMIS KALA SENJA
Senja ini langit gelap. Sebuah pertanda bahwa sebentar lagi hujan deras akan turun. Angin yang semakin kencang menambah kelabu suasana. Mayang berdiri dibalik jendela kaca ruang tamu. Pandangannya tertuju ke jalan depan rumah. Belum ada tanda-tanda bundanya kembali ke rumah. Ia takut. Ia sendiri dalam suasana yang semakin menakutkan. Kilasan-kilasan peristiwa hari ini pun terbayang kembali. Air mata Mayang mengalir seiring ketakutan, kecemasan, dan penyesalannya.
***
Seminggu yang lalu Ayah berjanji. Jika nilai UTSnya bagus, maka Ayah akan memberi Mayang hadiah. Karena Mayang sangat suka membaca, Mayang minta dibelikan lima buah buku cerita terbaru, untuk menambah koleksinya. Ayah pun setuju untuk membelikan lima buah buku cerita terbaru.
Tibalah saat pembagian hasil UTS. Ternyata, kesungguhan Mayang membuahkan hasil. Ia mendapatkan nilai tertinggi di antara teman-temannya. Mayang sangat senang. Terbayang sudah lima buah buku cerita terbaru yang dimintanya. Sepulang sekolah, ia akan mengajak Ayah Bundanya ke toko buku.
Mayang pulang dengan wajah berbinar. Ia ingin segera menunjukkan hasil UTSnya kepada orang tuanya dan menagih janji Ayah. Namun, ketika sampai di rumah, Ayah belum pulang. Bunda berkata bahwa Ayah harus ke luar kota. Karena ada tugas dari kantor dan belum tahu kapan akan pulang. Mayang kecewa. Ia pun meminta Bunda untuk mengantarnya ke toko buku. Namun, Bunda ada rapat penting yang tidak dapat ditinggalkan. Bunda berjanji mau membelikan besuk. Mayang marah. Ia mau dibelikan buku sekarang. Mayang pun berlari ke kamar dan menangis.
Bunda berusaha menghibur Mayang. Bunda berjanji akan membelikan buku cerita sepulang dari rapat nanti. Mayang pun akhirnya keluar dari kamar.
Sebelum Bunda berangkat, Bunda berpesan agar Mayang ganti baju dan makan. Dan juga berpesan untuk tetap berangkat TPA. Mayang pun menganggukkan kepala.
Pukul tiga sore,  Mayang sudah siap dengan tas dan sepedanya. Ia berangkat ke TPA. Hari itu Mbak Firda, pengajar TPAnya bercerita tentang sebuah kisah kepada Mayang dan teman-temannya.
Setelah semua tenang, Mbak Firda mulai bercerita.
“Alkisah, di sebuah desa, tinggallah seorang ibu dengan anaknya. Mereka hanya hidup berdua karena sang Ayah telah lama meninggal. Sang Anak mempunyai tabiat yang sangat buruk. Ia suka berbohong, berkelahi, mencuri, dan perilaku buruk yang lain. Namun sang Ibu tidak pernah lelah mendoakannya agar sang Anak insyaf dan merubah perilaku buruknya.
Tahun pun berganti, sang Anak tumbuh dewasa. Namun tabiatnya tidak kunjung berubah. Suatu hari sang Anak tertangkap karena mencuri dan dibawa kehadapan sang Raja. Sang Raja memutuskan bahwa sang Anak mendapat hukuman pancung.
Mendengar berita itu, sang Ibu sangat sedih. Ia pun pergi menghadap raja untuk memohon agar sang Anak diampuni. Dan jika sang Anak tak terampuni, sang Ibu rela untuk menggantikan hukumannya. Namun sang Raja tetap bersikukuh. Sang Anak harus dipancung esok hari, sesaat setelah lonceng dibunyikan.
Sang Ibu pun pulang dengan air mata bercucuran. Ia kemudian berdoa pada Tuhan, sambil menangis tersedu-sedu, hingga ia tertidur. Dalam tidurnya, sang Ibu bermimpi bertemu Tuhan.
Esok harinya, tibalah saat hukuman dijalankan. Sang Anak dibawa ke tempat eksekusi, disaksikan oleh semua penduduk. Sang Anak sangat ketakutan. Ia menyesali segala kesalahannya. Pada saat itu, ia teringat pada ibunya yang telah renta. Tanpa sadar, air matanya mengalir.
Tibalah saat hukuman pancung dijalankan. Semua penduduk menunggu dengan cemas. Namun, lonceng yang dinantikan tak segera berbunyi. Sang Raja pun bertanya, kenapa lonceng tak segera dibunyikan. Petugas lonceng mengatakan bahwa ia sudah menarik tali lonceng sejak tadi, namun ia heran karena lonceng tak berbunyi. Ketika mereka sedang keheranan, tiba-tiba dari tali lonceng mengalir darah. Mereka terkejut. Raja memerintahkan orang untuk naik ke atas, untuk melihat ada apa di sana. Ternyata di dalam lonceng tersebut, ada sesosok tubuh yang terikat di sana. Kepalanya hancur karena membentur dinding lonceng. Itulah sebabnya tali lonceng mengalirkan darah dan lonceng tidak bisa berbunyi. Tubuh itu pun diturunkan. Dan ternyata, itu adalah tubuh sang Ibu. Sang Anak pun menangis tersedu-sedu, ketika tahu jasad di depannya adalah jasad ibunya. Ia sangat menyesal karena telah durhaka pada ibu yang sangat menyayanginya.”
Mbak Firda menutup ceritanya, dengan berpesan bahwa sebagai anak, kita harus selalu patuh pada orang tua. Jangan sampai semua terlambat dan tinggal penyesalan.
Mayang pulang dengan perasaan tidak enak. Tadi pagi dia sudah marah dengan bundanya. Ketika langit semakin gelap dengan disertai angin kencang, Mayang semakin khawatir. Bunda kok tidak pulang-pulang ya? Padahal mau hujan. Ada apa ya? Batin Mayang cemas.
“Ya Allah, lindungi Bunda”, doa Mayang dalam hati.
Satu-persatu gerimis mulai turun. Mata Mayang masih menatap jalanan depan rumah. Bunda belum juga kelihatan.
Gerimis mulai menderas. Tak terasa, air mata Mayang meleleh. Kegundahan menyiksa Mayang. Tiba-tiba, dari derasnya hujan, muncul sepeda motor yang dikendarai oleh seseorang yang memakai jas hujan biru
“Itu Bunda!” pekik Mayang.
Mayang pun berlari menyongsong kedatangan Bunda. Mayang kemudian memeluk tubuh Bundanya dengan tangis bahagia seraya berkata “Mayang sayang Bunda. Maafkan Mayang, ya…”

Rabu, 15 Mei 2013

Lukisan Luka

Separuh hati ku lukis wangi
Indah ku bingkai bersama ragu
Berangan pesona terjelma nanti
Berharap indah tak lekas layu

Namun pesona tak jua nyata
Wangi jua bayangan maya
Hingga terjelma lukisan luka
Terbingkai indah bersama duka

Sabtu, 11 Mei 2013

Cerpen Kelima

HANTU DI ATAS JEMBATAN

Alkisah, tersebutlah sebuah desa di kaki sebuah gunung yang berhawa sejuk.  Desa Banyu Urip, demikian nama desa ini. Sebuah desa dengan jarak rumah agak berjauhan dan berpenduduk tidak begitu padat. Desa ini dihuni oleh kurang lebih lima puluh kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bertani dan beternak. Kebanyakan penduduk mempunyai sepetak tanah di lereng gunung yang ditanami berbagai macam sayur dan buah-buahan.
Jauh di sebelah timur Desa Banyu Urip, terdapatlah sebuah desa yang bernama Desa Banyu Biru. Jika dibandingkan dengan Desa Banyu Urip, desa ini lebih rendah letaknya. Lebih ke bawah dari puncak gunung. Akan tetapi, keadaan desa ini tak jauh berbeda dengan desa di sebelah baratnya. Jumlah penduduk desanya tidak lebih banyak dari jumlah penduduk Desa Banyu Urip, dengan jarak antar rumah yang tidak begitu rapat. Penduduknya pun kebanyakan bertani dan beternak serta berdagang.
Kedua desa ini dipisahkan oleh sebuah hutan kecil. Di tengah-tengah hutan ini terdapat sebuah sungai yang membelah hutan kecil ini menjadi dua bagian. Di atasnya membentang sebuah jembatan, yang menjadi penghubung kedua desa itu. Jembatan ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilewati, ketika para penduduk ingin pergi ke ladang atau pun ke pasar. Entah bagaimana awal mulanya, muncul cerita turun temurun bahwa ketika malam tiba, di sekitar hutan kecil itu banyak bermunculan makhluk-makhluk gaib.
***
Pak Darso adalah salah satu warga Desa Banyu Urip. Pak Darso memiliki sebuah kebun yang luas di belakang rumahnya. Kebun itu ditanami berbagai macam sayuran. Pada salah satu sudut kebunnya, terdapat sebuah kolam ikan dan sebuah kandang ayam pada sudut yang lain.
Ikan-ikan dalam kolam Pak Darso sudah besar-besar, maka tibalah saatnya untuk memanen ikan-ikan peliharaan tersebut. Pak Darso memanen ikan-ikannya dengan jala. Hasilnya lumayan banyak! Karena Pak Darso dan istrinya adalah orang yang sangat murah hati, maka selain dikonsumsi sendiri, ikan-ikan itu ada yang dibagikan pada tetangga, dan sisanya dijual.
Pagi itu, setelah Pak Darso selesai menjala ikan, istri Pak Darso berniat menggoreng ikan hasil panen suaminya. Tetapi dia mendapati bahwa ternyata wajan miliknya satu-satunya sudah berlubang. Maka, ketika Pak Darso akan menjual ikan-ikannya di pasar, ia meminta Pak Darso untuk membelikannya sebuah wajan baru.
Satu-satunya pasar desa terletak di Desa Banyu Biru. Sehingga, untuk sampai di pasar itu, Pak Darso harus berjalan kaki menuruni lereng gunung dan melewati hutan kecil, yang merupakan perbatasan desa. Ketika Pak Darso sampai di perbatasan desa, bertemulah dia dengan Pak Harjo.
“Assalamualaikum, Pak Harjo…”
“Wa’alaikumsalam, Pak Darso. Mau kemana, Pak? Ikannya banyak sekali...
“Iya, Pak. Ini, mau ke pasar. Mau menjual ikan-ikan saya. Tadi pagi saya menjalanya di kolam belakang rumah, jawab Pak Darso.
“Wah… Baru panen, ya? Semoga laku keras, ya!”
“Aaamiin..! Ngomong-ngomong, Pak Harjo mau kemana?”
“Mau ke ladang, Pak. Memeriksa tanaman-tanaman saya.”
“Ooo… Ya, sudah kalo begitu. Saya ke pasar dulu ya, Pak. Keburu siang.”
“Ya, Pak. Hati-hati! Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Pak Darso pun melanjutkan perjalanannya ke pasar, sedang Pak Harjo meneruskan langkahnya ke ladang.
***
Pak Harjo adalah seorang petani dari Desa Banyu Biru. Dia mempunyai sebuah ladang yang luas di lereng gunung di sebelah barat Desa Banyu Urip. Sehingga, jika mau ke ladang, dia harus melewati hutan kecil itu dan menapaki jalan yang menanjak serta berkelok-kelok.
Berbagai macam sayuran dan buah ditanam di ladang Pak Harjo. Diantaranya ada wortel, kol, sawi, semangka, dan strawberry. Melihat tanaman-tanamannya yang menghijau dan tumbuh subur, Pak Harjo jadi lebih bersemangat bekerja di ladangnya. Saking semangatnya, Pak Harjo lupa bahwa dia telah menghabiskan seluruh waktunya. Hingga tanpa terasa sore sudah menjelang. Pak Harjo pun bersiap-siap pulang. Tak lupa, Pak Harjo memetik salah satu semangkanya yang besar dan telah tua untuk dibawa pulang.
Kabut mulai turun dan mendung pun tampak bergayut di atas sana. Nampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Pak Harjo meletakkan semangkanya di atas kepala sambil memeganginya dengan kedua belah tangannya. Dia berjalan menuruni lereng gunung dengan agak tergesa-gesa. Dia berharap agar segera sampai di rumah sebelum hujan membasahi alam raya.
Pada saat yang sama Pak Darso sedang bersiap-siap pulang dari rumah kerabatnya. Siang tadi, setelah menyelesaikan perniagaannya dan berbelanja kebutuhan rumah tangga serta membeli sebuah wajan untuk istrinya, Pak Darso pergi ke rumah kerabatnya, untuk memberikan beberapa ekor ikan hasil panennya.
Kerabat Pak Harjo, yang bernama Pak Jono, baru pulang dari kota. Dia bekerja di kota dan pulang satu tahun sekali. Pak Jono banyak bercerita tentang pengalamannya di kota. Saking asyiknya bercerita, Pak Darso sampai lupa waktu. Dia pun berpamitan setelah menyadari bahwa sore telah tiba dan mendung telah merata di angkasa.
Pak Darso pun berpamitan. Dia menenteng barang belanjaan dan sedikit oleh-oleh dari Pak Jono dengan tangan kanannya, sementara tangannya yang lain menenteng wajan titipan istrinya. Dia berjalan cepat agar segera sampai di rumah.
***
Gelap mulai menyelimuti dan satu-satu tetes hujan mulai jatuh membasahi bumi. Namun Pak Harjo belum juga mencapai perbatasan desa. Dia mulai khawatir. Sebentar lagi dia akan sampai di perbatasan desa dan harus melewati jembatan itu. Tapi tak ada pilihan lain. Dia harus melewati jembatan itu. Pak Harjo pun segera mempercepat langkahnya.
Pak Harjo memperlambat langkahnya ketika sampai di ujung jembatan. Dia ragu. Dalam ketakutan yang mulai merayapinya, ia menahan nafas, menajamkan mata dan telinganya. Tak ada siapa pun. Hanya suara binatang malam yang sesekali berbunyi dan mengagetkannya. Kemudian dia memantapkan langkahnya untuk melewati jembatan itu sambil menajamkan pandangannya.
Hampir mencapai tengah jembatan. Pak Harjo berhenti. Dia melihat ada sesuatu yang bergerak di depan sana. Sesuatu yang makin lama makin terlihat seperti bayangan seseorang berpayung ada di depan sana. Bayangan itu bergerak dengan cepat, namun makin lama melambat, dan berhenti tepat di ujung lain jembatan. Ketakutan menguasainya. Hanya satu hal yang melintas dalam kepalanya. HANTU WANITA BERPAYUNG!!!
Dalam beberapa detik, Pak Harjo terpaku ditempatnya. Terbelalak dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Detik berikutnya, ketika siluet wanita berpayung di depannya bergerak memutar, Pak Harjo secepat kilat berbalik arah, berteriak ketakutan, dan berlari secepatnya menuju Desa Banyu Urip.
***
Pak Darso terus mempercepat langkahnya. Ketika gerimis mulai turun, dia ingin berteduh, tapi dia juga harus segera sampai dirumah. Dia pun menemukan akal. Wajan yang ditenteng di tangan kirinya, digunakannya untuk menutup kepalanya, layaknya sedang memakai payung.
Pak Darso terus berjalan berpayung wajan. Hingga dia tiba di perbatasan desa. Sebentar lagi dia akan melintasi jembatan di tengah hutan. Pak Darso semakin mempercepat langkahnya. Dan ketika dia hampir mencapai ujung jembatan, dia melihat sesosok hitam berdiri di tengah jembatan. Pak Darso memperlambat langkahnya dan berhenti tepat di ujung jembatan. Tubuhnya mulai gemetar ketakutan. Ditajamkannya matanya dan terlihatlah olehnya bahwa makhluk di depannya adalah HANTU BERKEPALA BESAR!!! Secepat kilat Pak Darso membalikkan badan dan berlari, kembali ke desa Banyu Biru, ke rumah kerabatnya.
***
Mentari telah muncul dari peraduannya. Pasar Desa Banyu Biru ramai. Tetapi, hari ini keramaian itu tidak seperti biasanya. Orang-orang sibuk membicarakan sebuah kabar, yang sudah tidak jelas lagi darimana asalnya, yaitu bahwa “semalam ada orang yang melihat HANTU DI ATAS JEMBATAN!!!” (Sumber : Dongeng Masa Kecil)