Jumat, 26 April 2013

Cerpen Kedua

A D I K

“Sebel..sebel..sebel…!!!” Kata Anin sambil menghentak-hentakkan kakinya. Wajahnya cemberut, tanda ia sedang kesal. Ia mendengus dan melemparkan tubuhnya ke kursi di depan televisi.
“Nggak enak jadi anak bungsu!” Ia masih terus menggerutu.
“Coba Umi punya anak satu lagi…”
***
Anin adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Mbak Ayin, enam tahun lebih tua darinya. Saat ini Mbak Ayin duduk di kelas 12 SMA. Kakaknya yang kedua, Mas Arif, tiga tahun lebih tua darinya, dan sekarang sudah kelas 9 SMP. Anin sendiri sekarang duduk di bangku kelas 6.
Kedua kakaknya terlihat sangat rukun. Tapi anehnya, ia tidak pernah bisa akur dengan kakak-kakaknya. Bahkan, dengan Mas Arif, ia sering berantem. Dan yang lebih menyebalkan adalah kedua kakaknya selalu kompak mengerjainya.
***
Hari ini Mbak Anin dan Mas Arif entah mau pergi kemana. Mereka merahasiakannya sambil senyum-senyum dan ia tidak diajak. Menyebalkan sekali!!
Tiba-tiba, terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah dan berhenti di garasi.
“Ummi pulang!” bisik Anin sambil berlari keluar, menyongsong kedatangan umminya. Gurat kekesalan masih tersisa diwajahnya.
“Assalamu’alaikum….’ Ucap Ummi.
“Wa’alaikumsalam,” Jawab Anin pendek sambil mencium tangan ummi.
“Kenapa cemberut gitu, Dek?” Tanya Ummi.
Dibimbingnya Anin masuk ke dalam rumah.
“Habisnya, Mbak Ayin sama Mas Arif pergi gak ajak-ajak. Nggak bilang lagi mau kemana. Katanya ini urusan orang dewasa, anak kecil gak boleh ikutan. Jadinya sebel kan, Mi. Adek selaaaalu saja ditinggal!!” Lapor Anin sambil bersungut-sungut.
“Adek…. Gak boleh gitu donk…. Mungkin Mbak Ayin sama Mas Arif lagi ada urusan penting. Lagian kalo mereka perginya cuma main, Adek juga mesti dibawain oleh-oleh kan?” Hibur Ummi.
“Iya sih…. Tapi kan Adek pingin ikut…” Anin masih ngotot.
Ummi tersenyum.
“Dek, tolong ambilkan Ummi air putih, ya..?” Pinta Ummi sambil menyandarkan tubuh di kursi depan TV, setelah meletakkan tas di atas meja dan melepas sepatu.
Anin mengangguk dan berlari ke dapur. Sekejap kemudian dia sudah berada di depan ummi, menyodorkan segelas air putih, dan berkata, “Mi, punya adik lagi donk…”
Ummi terkejut sampai hampir tersedak mendengar perkataan Anin.
“Memang kenapa, Dek?”
“Ummi punya anaknya jangan ganjil donk… Tambah satu lagi. Biar Anin ada temennya.”
Ummi pun hanya bisa tersenyum geli.
***
 Krrrrrriiiiiiiiinnngggg………!!!!
Jam weker klasik pemberian nenek berdering di atas kepala Anin. Dengan mata masih terpejam. Anin meraba-raba bantalnya, mencari jam weker, dan mematikannya. Dikucek-kuceknya kedua matanya sambil sesekali menguap dan kemudian bangun.
Jam tiga tepat. Anin bergegas ke kamar mandi, berwudhu, dan mengambil mukena. Dikerjakannya dua rakaat tahajud dan ditutup dengan witir. Kemudian, dengan sepenuh hati dia berdo’a, memohon pada Allah agar diberi adik, dan dia tidak sendirian lagi jika Mbak Ayin dan Mas Arif pergi.
***
Tiga bulan telah berlalu. Pada suatu malam, Mbak Ayin mendekatinya.
“Adek! Mbak Ayin punya kejutan buat kamu.”
“Apaan, Mbak?”
“Coba tebak!”
“Mmmmm….. Coklat? Es Krim? Buku Cerita?” Tanya Anin menebak-nebak. Dan Mbak Ayin menjawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum-senyum.
“Apa sih?”
“Denger ya…. Kita... Akan… Punya… Adik… Baruuuu…!!!” Jawab Mbak Ayin sambil mengeja.
“Yang bener??!!” Tanya Anin tak percaya.
Mbak Ayin mengangguk sambil tersenyum.
“Ummiiiiii…..!!!” Anin menjerit kesenangan dan berlari mencari umminya.
***
Berita itu ternyata membuat Anin sangat senang. Setiap hari dia selalu mengusap-usap perut umminya dan mengajak calon adiknya ngobrol. Setiap hari pula Anin menebak-nebak jenis kelamin adiknya nanti dan menyiapkan nama-nama. Mbak Ayin punya usul, kalo laki-laki diberi nama Ahmad Arba’i. Karena dia anak keempat. Abi, Ummi, dan Mas Arif setuju. Anin pun ikut setuju.
Di sekolah, Anin menceritakan hal itu kepada teman-temannya. Setiap kali bercerita, matanya selalu berbinar-binar. Dia pun meminta pendapat teman-temannya tentang nama adiknya kelak.
Ketika kandungan Ummi memasuki usia empat bulan, Anin berteriak kegirangan saat memegang perut umminya. Adiknya bergerak! Lima bulan lagi ia bisa menggendongnya. Anin pun semakin sering memegang-megang perut umminya dan ngobrol dengan calon adiknya.
***
Suatu siang yang panas. Sepulang sekolah, seperti biasa rumah sepi. Tapi seingat Anin, tadi pagi ummi megeluh tidak enak badan dan tidak masuk kerja. Sedang Mbak Ayin libur. Hari tenang karena mau Ujian Nasional. Dan harusnya Mas Arif pulang cepat karena hari ini try out.
Anin mengucap salam sambil membuka pintu. Terkunci. Dia pun bergegas ke tempat penyimpanan kunci, membuka pintu, dan memasuki rumah. Kemana ya orang-orang ini? Batin Anin.
Suara motor Mbak Ayin terdengar memasuki garasi ketika Anin sedang menonton TV. Anin segera keluar. Dilihatnya Mbak Ayin dan Mas Arif turun dari motor.
“Dari mana, Mbak?”
Mbak Ayin dan Mas Arif tersenyum aneh dan berpandangan. Ragu Mbak Ayin menjawab, “Dari rumah sakit.”
“Rumah sakit? Ummi kenapa?” Tanya Anin.
“Mmmm…. Ummi nggak pa-pa..” Jawab Mbak Ayin sambil berlalu.
Anin membuntutinya. Penasaran.
“Kalo nggak pa-pa, kenapa masuk rumah sakit?”
Mbak Ayin dan Mas Arif duduk di kursi depan TV. Dengan hati-hati Mbak Ayin menjelaskan. “Ummi nggak pa-pa. Tapi adek…” Mbak Ayin tidak melanjutkan kalimatnya.
“Adek kenapa?” Tanya Anin tak sabar.
“Adek harus dikeluarkan.” Bingung Mbak Ayin menjawab.
“Dikeluarkan gimana? Nanti kalo habis dikeluarkan,  masih bisa dimasukkan perut lagi, kan?” Tanya Anin kacau. Matanya berkaca-kaca.
“Kalo sudah dikeluarkan, ya nggak bisa dimasukkan lagi.” Sahut Mas Arif.
“Kalo gitu, kenapa harus dikeluarkan??!!” Anin sudah mulai terisak. Dengan bijak, Mbak Anin menjelaskan. “Tadi pagi Mbak Ayin nganter Ummi USG. Dan ternyata adek sudah tidak bergerak lagi. Dokter menyarankan supaya adek dikeluarkan. Karena adek sudah tidak hidup lagi. Ummi terinfeksi tocsoplasma.”
Seketika, pecahlah tangis Anin. Dia berlari ke kamar. Menangis. Kecewa karena ia batal punya adik.  Anin baru keluar kamar ketika Mbak Ayin membujuknya untuk shalat maghrib.
***
Selasa pagi, Anin, Mas Arif, dan Mbak Ayin ke rumah sakit. Subuh tadi Abi menelpon, mengabarkan kalau adik sudah lahir. Mereka datang bersama beberapa orang tetangga yang akan mengurus pemakaman adik mereka.
Anin dan kakak-kakaknya berkesempatan melihat adik mereka untuk terakhir kalinya. Bayi itu masih mungil sekali, karena memang baru berusia lima bulan di kandungan, dan sepertinya berjenis kelamin laki-laki.
Pukul sembilan tepat. Anin mengikuti Abi dan Mas Arif ke pemakaman. Air matanya menitik menatap gundukan tanah di depannya. Dia berbisik, “Selamat jalan Ahmad Arba’i-ku yang mungil. Semoga kau tenang di sana. Aamiin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar