A D I K
“Sebel..sebel..sebel…!!!”
Kata Anin sambil menghentak-hentakkan kakinya. Wajahnya cemberut, tanda ia
sedang kesal. Ia mendengus dan melemparkan tubuhnya ke kursi di depan televisi.
“Nggak
enak jadi anak bungsu!” Ia masih terus menggerutu.
“Coba
Umi punya anak satu lagi…”
***
Anin
adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Mbak Ayin, enam tahun
lebih tua darinya. Saat ini Mbak Ayin duduk di kelas 12 SMA. Kakaknya yang
kedua, Mas Arif, tiga tahun lebih tua darinya, dan sekarang sudah kelas 9 SMP. Anin
sendiri sekarang duduk di bangku kelas 6.
Kedua
kakaknya terlihat sangat rukun. Tapi anehnya, ia tidak pernah bisa akur dengan kakak-kakaknya.
Bahkan, dengan Mas Arif, ia sering berantem. Dan yang lebih menyebalkan adalah
kedua kakaknya selalu kompak mengerjainya.
***
Hari
ini Mbak Anin dan Mas Arif entah mau pergi kemana. Mereka merahasiakannya
sambil senyum-senyum dan ia tidak diajak. Menyebalkan sekali!!
Tiba-tiba,
terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah dan berhenti di garasi.
“Ummi
pulang!” bisik Anin sambil berlari keluar, menyongsong kedatangan umminya.
Gurat kekesalan masih tersisa diwajahnya.
“Assalamu’alaikum….’
Ucap Ummi.
“Wa’alaikumsalam,”
Jawab Anin pendek sambil mencium tangan ummi.
“Kenapa
cemberut gitu, Dek?” Tanya Ummi.
Dibimbingnya
Anin masuk ke dalam rumah.
“Habisnya,
Mbak Ayin sama Mas Arif pergi gak ajak-ajak. Nggak bilang lagi mau kemana.
Katanya ini urusan orang dewasa, anak kecil gak boleh ikutan. Jadinya sebel
kan, Mi. Adek selaaaalu saja ditinggal!!” Lapor Anin sambil bersungut-sungut.
“Adek….
Gak boleh gitu donk…. Mungkin Mbak Ayin sama Mas Arif lagi ada urusan penting.
Lagian kalo mereka perginya cuma main, Adek juga mesti dibawain oleh-oleh kan?”
Hibur Ummi.
“Iya
sih…. Tapi kan Adek pingin ikut…” Anin masih ngotot.
Ummi
tersenyum.
“Dek,
tolong ambilkan Ummi air putih, ya..?” Pinta Ummi sambil menyandarkan tubuh di
kursi depan TV, setelah meletakkan tas di atas meja dan melepas sepatu.
Anin
mengangguk dan berlari ke dapur. Sekejap kemudian dia sudah berada di depan
ummi, menyodorkan segelas air putih, dan berkata, “Mi, punya adik lagi donk…”
Ummi
terkejut sampai hampir tersedak mendengar perkataan Anin.
“Memang
kenapa, Dek?”
“Ummi
punya anaknya jangan ganjil donk… Tambah satu lagi. Biar Anin ada temennya.”
Ummi
pun hanya bisa tersenyum geli.
***
Krrrrrriiiiiiiiinnngggg………!!!!
Jam
weker klasik pemberian nenek berdering di atas kepala Anin. Dengan mata masih
terpejam. Anin meraba-raba bantalnya, mencari jam weker, dan mematikannya. Dikucek-kuceknya
kedua matanya sambil sesekali menguap dan kemudian bangun.
Jam
tiga tepat. Anin bergegas ke kamar mandi, berwudhu, dan mengambil mukena.
Dikerjakannya dua rakaat tahajud dan ditutup dengan witir. Kemudian, dengan
sepenuh hati dia berdo’a, memohon pada Allah agar diberi adik, dan dia tidak
sendirian lagi jika Mbak Ayin dan Mas Arif pergi.
***
Tiga
bulan telah berlalu. Pada suatu malam, Mbak Ayin mendekatinya.
“Adek!
Mbak Ayin punya kejutan buat kamu.”
“Apaan,
Mbak?”
“Coba
tebak!”
“Mmmmm…..
Coklat? Es Krim? Buku Cerita?” Tanya Anin menebak-nebak. Dan Mbak Ayin menjawab
dengan gelengan kepala sambil tersenyum-senyum.
“Apa
sih?”
“Denger
ya…. Kita... Akan… Punya… Adik… Baruuuu…!!!” Jawab Mbak Ayin sambil mengeja.
“Yang
bener??!!” Tanya Anin tak percaya.
Mbak
Ayin mengangguk sambil tersenyum.
“Ummiiiiii…..!!!”
Anin menjerit kesenangan dan berlari mencari umminya.
***
Berita
itu ternyata membuat Anin sangat senang. Setiap hari dia selalu mengusap-usap
perut umminya dan mengajak calon adiknya ngobrol. Setiap hari pula Anin
menebak-nebak jenis kelamin adiknya nanti dan menyiapkan nama-nama. Mbak Ayin
punya usul, kalo laki-laki diberi nama Ahmad Arba’i. Karena dia anak keempat.
Abi, Ummi, dan Mas Arif setuju. Anin pun ikut setuju.
Di
sekolah, Anin menceritakan hal itu kepada teman-temannya. Setiap kali
bercerita, matanya selalu berbinar-binar. Dia pun meminta pendapat
teman-temannya tentang nama adiknya kelak.
Ketika
kandungan Ummi memasuki usia empat bulan, Anin berteriak kegirangan saat
memegang perut umminya. Adiknya bergerak! Lima bulan lagi ia bisa
menggendongnya. Anin pun semakin sering memegang-megang perut umminya dan
ngobrol dengan calon adiknya.
***
Suatu
siang yang panas. Sepulang sekolah, seperti biasa rumah sepi. Tapi seingat
Anin, tadi pagi ummi megeluh tidak enak badan dan tidak masuk kerja. Sedang
Mbak Ayin libur. Hari tenang karena mau Ujian Nasional. Dan harusnya Mas Arif
pulang cepat karena hari ini try out.
Anin
mengucap salam sambil membuka pintu. Terkunci. Dia pun bergegas ke tempat
penyimpanan kunci, membuka pintu, dan memasuki rumah. Kemana ya orang-orang
ini? Batin Anin.
Suara
motor Mbak Ayin terdengar memasuki garasi ketika Anin sedang menonton TV. Anin
segera keluar. Dilihatnya Mbak Ayin dan Mas Arif turun dari motor.
“Dari
mana, Mbak?”
Mbak
Ayin dan Mas Arif tersenyum aneh dan berpandangan. Ragu Mbak Ayin menjawab,
“Dari rumah sakit.”
“Rumah
sakit? Ummi kenapa?” Tanya Anin.
“Mmmm….
Ummi nggak pa-pa..” Jawab Mbak Ayin sambil berlalu.
Anin
membuntutinya. Penasaran.
“Kalo
nggak pa-pa, kenapa masuk rumah sakit?”
Mbak
Ayin dan Mas Arif duduk di kursi depan TV. Dengan hati-hati Mbak Ayin
menjelaskan. “Ummi nggak pa-pa. Tapi adek…” Mbak Ayin tidak melanjutkan
kalimatnya.
“Adek
kenapa?” Tanya Anin tak sabar.
“Adek
harus dikeluarkan.” Bingung Mbak Ayin menjawab.
“Dikeluarkan
gimana? Nanti kalo habis dikeluarkan, masih bisa dimasukkan perut lagi, kan?” Tanya
Anin kacau. Matanya berkaca-kaca.
“Kalo
sudah dikeluarkan, ya nggak bisa dimasukkan lagi.” Sahut Mas Arif.
“Kalo
gitu, kenapa harus dikeluarkan??!!” Anin sudah mulai terisak. Dengan bijak,
Mbak Anin menjelaskan. “Tadi pagi Mbak Ayin nganter Ummi USG. Dan ternyata adek
sudah tidak bergerak lagi. Dokter menyarankan supaya adek dikeluarkan. Karena
adek sudah tidak hidup lagi. Ummi terinfeksi tocsoplasma.”
Seketika,
pecahlah tangis Anin. Dia berlari ke kamar. Menangis. Kecewa karena ia batal
punya adik. Anin baru keluar kamar
ketika Mbak Ayin membujuknya untuk shalat maghrib.
***
Selasa
pagi, Anin, Mas Arif, dan Mbak Ayin ke rumah sakit. Subuh tadi Abi menelpon,
mengabarkan kalau adik sudah lahir. Mereka datang bersama beberapa orang
tetangga yang akan mengurus pemakaman adik mereka.
Anin
dan kakak-kakaknya berkesempatan melihat adik mereka untuk terakhir kalinya.
Bayi itu masih mungil sekali, karena memang baru berusia lima bulan di
kandungan, dan sepertinya berjenis kelamin laki-laki.
Pukul
sembilan tepat. Anin mengikuti Abi dan Mas Arif ke pemakaman. Air matanya
menitik menatap gundukan tanah di depannya. Dia berbisik, “Selamat jalan Ahmad
Arba’i-ku yang mungil. Semoga kau tenang di sana. Aamiin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar