KISAH
DI UJUNG SENJA
Lepas ashar, taksi yang dipesan
kakek sudah siap di depan rumah. Ku periksa kembali barang-barangku. Sudah
lengkap. Segera ku gendong tas ranselku dan berpamitan pada kakek nenekku. Ku
lambaikan tangan pada kakek nenek sebelum aku masuk ke dalam taksi. Semenit
kemudian, taksi meluncur meninggalkan kampung Karang Asem, tempat tinggal kakek
dan nenek.
Taksi yang ku tumpangi perlahan keluar
dari Gang Dahlia dan meluncur di Jl Agro. Tak berapa lama, taksi berbelok ke
kiri dan menyusuri jalanan di sisi timur kompleks Kampus UGM, jalan tercepat
menuju Stasiun Lempuyangan. Sepanjang jalan dapat ku lihat gedung-gedung kampus
di kanan jalan dan Lembah UGM di sisi kirinya. Pada hari biasa, Lembah UGM
hanya terlihat sebagai sebuah danau dengan kandang rusa dan bangunan untuk
museum kupu-kupu pada sisi baratnya. Namun pada minggu pagi, tempat ini akan
ramai dipenuhi para penjual. Orang-orang menyebutnya Pasar Pagi, tempat
orang-orang berwisata kuliner, berburu pernak-pernik, atau hanya sekedar
berjalan-jalan.
Perjalananku di kompleks UGM
berakhir setelah melewati Masjid Kampus dan Fakultas Ekonomi. Setelah ini,
taksi akan menyusuri Jl. Prof. Dr. Yohanes sebelum sampai di Stasiun
Lempuyangan.
Keriuhan Stasiun Lempuyangan telah
terlihat dari kejauhan. Nampaknya ada kereta yang baru saja datang. Jalanan
depan stasiun jadi begitu ramai. Taksi, mobil pribadi, sepeda motor, dan becak
saling berkompetisi untuk keluar dari keramaian jalan depan stasiun. Di kanan
kiri jalan, terparkir mobil dan sepeda motor penjemput. Belum lagi taksi atau
becak yang menunggu penumpang, membuat ruang gerak menjadi semakin sempit. Arus
lalu lintas pun jadi padat merayap.
Taksi yang ku tumpangi berhenti
tepat di pintu gerbang stasiun. Aku segera turun setelah membayar ongkos taksi.
Ku seberangi jalan depan stasiun dan bergegas menuju loket, yang sudah penuh
antrian.
Giliranku pun akhirnya tiba.
“Prameks, satu,” kataku pada Mbak
Penjaga Loket sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan.
Mbak Penjaga Loket menyodorkan
secarik kertas berwarna pink dan uang kembalian padaku. Ku ambil tiket kereta
dan uang kembalian, ku masukkan dalam tas, dan bergegas menuju ruang tunggu.
Ku edarkan pandanganku di sekitar
ruang tunggu, mencari-cari kursi yang masih kosong. Ku temukan satu deret tempat
kosong di pojok belakang. Aku bergegas menuju ke sana.
Aku duduk sambil melihat-lihat
sekeliling, menikmati keriuhan suasana di dalam stasiun. Minggu sore begini,
pasti banyak penumpang Prameks. Mudah-mudahan nanti masih bisa dapat tempat
duduk, batinku.
Keasyikanku terganggu dengan
datangnya seorang gadis kecil yang tiba-tiba menghampiriku.
“Kakak! Kakak kok tidak
pulang-pulang? Ayo kita pulang, Kak…!” kata anak itu sambil menarik-narik
tanganku.
Aku bingung. Anak siapa ini? Batinku.
Belum hilang kebingunganku, tiba-tiba seorang ibu mendekati kami. Dia menatapku
sekilas dan segera menarik anak itu dalam pelukannya.
“Tita, dia bukan Kakak…” katanya
pada gadis kecil itu.
Ibu itu mengalihkan pandangan
padaku.
“Maaf, ya, Nak…” katanya kemudian
padaku.
Aku semakin tidak mengerti. Seolah
tahu keherananku, ibu itu kemudian duduk di sampingku dan bertanya padaku.
“Maaf, Nak. Namamu siapa?“
Aku ragu, namun ku jawab juga
pertanyaannya.
“Dina, Bu,”
“Dina, ya… Ibu punya anak seusia
kamu. Namanya Vita. Suatu hari dia sakit. Awalnya hanya demam biasa. Namun,
tanpa sebab yang jelas, dia kehilangan kesadaran. Dokter memvonis dia menderita
radang selaput otak. Dia bertahan selama dua minggu di ICU sebelum akhirnya
Tuhan mengambilnya,” Sang Ibu mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tercekat. Tak bisa
berkata-kata.
“Maaf, saya turut berduka cita. Kapan
kejadiannya, Bu?” tanyaku kemudian.
“Sebulan yang lalu,” jawab Sang
Ibu.
“Lalu, hubungannya dengan saya?”
tanyaku dengan hati-hati.
Sang Ibu terdiam sejenak, terlihat
sedang menata hati. Ia menghela nafas.
“Dia sangat mirip denganmu.” Kata
Sang Ibu kemudian. Air mata telah jatuh di pipinya.
Terjawab sudah keherananku. Tanpa
sadar, ku ulurkan tanganku padanya dan memeluknya. Si gadis kecil melihat kami
berpelukan dan semakin yakin bahwa aku adalah kakaknya. Dia kembali
menarik-narik tanganku.
“Kakak pulang, ya…” katanya lagi.
Ku peluk gadis kecil di depanku
dalam diam. Air mataku tak lagi terbendung.
Tiba-tiba, speaker di stasiun berbunyi, disusul suara operator.
Ting tong ting tong, ting tong
ting tong….!
“Kereta api Prambanan Ekspress Jurusan Solo
Jebres segera memasuki jalur dua.”
Segera ku lepaskan pelukanku dan
ku usap air mataku.
“Maaf, Ibu. Saya harus segera
pergi. Senang bisa berjumpa dengan Ibu,” kataku sambil meraih tas ranselku.
“Saya senang jika pertemuan kita
yang singkat ini bisa menjadi pengobat rindu Ibu pada anak Ibu,” lanjutku.
Ku gendong tas ranselku dan
beranjak dari kursi. Ku langkahkan kakiku menuju jalur dua.
“Nak Dina…!” suara Ibu itu
memanggilku.
Aku menoleh. Ada binar bahagia di
kedua matanya yang masih berlinang air mata.
“Terima kasih!” katanya sambil
tersenyum.
Ku kembangkan senyuman yang sama
dan mengangguk, kemudian bergegas masuk ke dalam kereta. Ketika kereta mulai
bergerak meninggalkan stasiun, ku lambaikan tangan pada mereka untuk terakhir
kalinya, hingga mereka tak lagi terlihat dalam pandangan mataku.
Kereta Prameks pun terus berjalan
ke arah timur menuju Kota Solo. Melaju dengan kecepatan yang semakin bertambah,
meninggalkan sebuah kisah di ujung senja yang semakin memerah.
(Terinspirasi dari lagu “Perjalanan”, Franky &
Jane)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar