Jumat, 03 Januari 2014

Cerpen ke empat belas



KISAH DI UJUNG SENJA

Lepas ashar, taksi yang dipesan kakek sudah siap di depan rumah. Ku periksa kembali barang-barangku. Sudah lengkap. Segera ku gendong tas ranselku dan berpamitan pada kakek nenekku. Ku lambaikan tangan pada kakek nenek sebelum aku masuk ke dalam taksi. Semenit kemudian, taksi meluncur meninggalkan kampung Karang Asem, tempat tinggal kakek dan nenek.
Taksi yang ku tumpangi perlahan keluar dari Gang Dahlia dan meluncur di Jl Agro. Tak berapa lama, taksi berbelok ke kiri dan menyusuri jalanan di sisi timur kompleks Kampus UGM, jalan tercepat menuju Stasiun Lempuyangan. Sepanjang jalan dapat ku lihat gedung-gedung kampus di kanan jalan dan Lembah UGM di sisi kirinya. Pada hari biasa, Lembah UGM hanya terlihat sebagai sebuah danau dengan kandang rusa dan bangunan untuk museum kupu-kupu pada sisi baratnya. Namun pada minggu pagi, tempat ini akan ramai dipenuhi para penjual. Orang-orang menyebutnya Pasar Pagi, tempat orang-orang berwisata kuliner, berburu pernak-pernik, atau hanya sekedar berjalan-jalan.
Perjalananku di kompleks UGM berakhir setelah melewati Masjid Kampus dan Fakultas Ekonomi. Setelah ini, taksi akan menyusuri Jl. Prof. Dr. Yohanes sebelum sampai di Stasiun Lempuyangan.
Keriuhan Stasiun Lempuyangan telah terlihat dari kejauhan. Nampaknya ada kereta yang baru saja datang. Jalanan depan stasiun jadi begitu ramai. Taksi, mobil pribadi, sepeda motor, dan becak saling berkompetisi untuk keluar dari keramaian jalan depan stasiun. Di kanan kiri jalan, terparkir mobil dan sepeda motor penjemput. Belum lagi taksi atau becak yang menunggu penumpang, membuat ruang gerak menjadi semakin sempit. Arus lalu lintas pun jadi padat merayap.
Taksi yang ku tumpangi berhenti tepat di pintu gerbang stasiun. Aku segera turun setelah membayar ongkos taksi. Ku seberangi jalan depan stasiun dan bergegas menuju loket, yang sudah penuh antrian.
Giliranku pun akhirnya tiba.
“Prameks, satu,” kataku pada Mbak Penjaga Loket sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan.
Mbak Penjaga Loket menyodorkan secarik kertas berwarna pink dan uang kembalian padaku. Ku ambil tiket kereta dan uang kembalian, ku masukkan dalam tas, dan bergegas menuju ruang tunggu.
Ku edarkan pandanganku di sekitar ruang tunggu, mencari-cari kursi yang masih kosong. Ku temukan satu deret tempat kosong di pojok belakang. Aku bergegas menuju ke sana.
Aku duduk sambil melihat-lihat sekeliling, menikmati keriuhan suasana di dalam stasiun. Minggu sore begini, pasti banyak penumpang Prameks. Mudah-mudahan nanti masih bisa dapat tempat duduk, batinku.
Keasyikanku terganggu dengan datangnya seorang gadis kecil yang tiba-tiba menghampiriku.
“Kakak! Kakak kok tidak pulang-pulang? Ayo kita pulang, Kak…!” kata anak itu sambil menarik-narik tanganku.
Aku bingung. Anak siapa ini? Batinku. Belum hilang kebingunganku, tiba-tiba seorang ibu mendekati kami. Dia menatapku sekilas dan segera menarik anak itu dalam pelukannya.
“Tita, dia bukan Kakak…” katanya pada gadis kecil itu.
Ibu itu mengalihkan pandangan padaku.
“Maaf, ya, Nak…” katanya kemudian padaku.
Aku semakin tidak mengerti. Seolah tahu keherananku, ibu itu kemudian duduk di sampingku dan bertanya padaku.
“Maaf, Nak. Namamu siapa?“
Aku ragu, namun ku jawab juga pertanyaannya.
“Dina, Bu,”
“Dina, ya… Ibu punya anak seusia kamu. Namanya Vita. Suatu hari dia sakit. Awalnya hanya demam biasa. Namun, tanpa sebab yang jelas, dia kehilangan kesadaran. Dokter memvonis dia menderita radang selaput otak. Dia bertahan selama dua minggu di ICU sebelum akhirnya Tuhan mengambilnya,” Sang Ibu mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tercekat. Tak bisa berkata-kata.
“Maaf, saya turut berduka cita. Kapan kejadiannya, Bu?” tanyaku kemudian.
“Sebulan yang lalu,” jawab Sang Ibu.
“Lalu, hubungannya dengan saya?” tanyaku dengan hati-hati.
Sang Ibu terdiam sejenak, terlihat sedang menata hati. Ia menghela nafas.
“Dia sangat mirip denganmu.” Kata Sang Ibu kemudian. Air mata telah jatuh di pipinya.
Terjawab sudah keherananku. Tanpa sadar, ku ulurkan tanganku padanya dan memeluknya. Si gadis kecil melihat kami berpelukan dan semakin yakin bahwa aku adalah kakaknya. Dia kembali menarik-narik tanganku.
“Kakak pulang, ya…” katanya lagi.
Ku peluk gadis kecil di depanku dalam diam. Air mataku tak lagi terbendung.
Tiba-tiba, speaker di stasiun berbunyi, disusul suara operator.
Ting tong ting tong, ting tong ting tong….!
 “Kereta api Prambanan Ekspress Jurusan Solo Jebres segera memasuki jalur dua.”
Segera ku lepaskan pelukanku dan ku usap air mataku.
“Maaf, Ibu. Saya harus segera pergi. Senang bisa berjumpa dengan Ibu,” kataku sambil meraih tas ranselku.
“Saya senang jika pertemuan kita yang singkat ini bisa menjadi pengobat rindu Ibu pada anak Ibu,” lanjutku.
Ku gendong tas ranselku dan beranjak dari kursi. Ku langkahkan kakiku menuju jalur dua.
“Nak Dina…!” suara Ibu itu memanggilku.
Aku menoleh. Ada binar bahagia di kedua matanya yang masih berlinang air mata.
“Terima kasih!” katanya sambil tersenyum.
Ku kembangkan senyuman yang sama dan mengangguk, kemudian bergegas masuk ke dalam kereta. Ketika kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun, ku lambaikan tangan pada mereka untuk terakhir kalinya, hingga mereka tak lagi terlihat dalam pandangan mataku.
Kereta Prameks pun terus berjalan ke arah timur menuju Kota Solo. Melaju dengan kecepatan yang semakin bertambah, meninggalkan sebuah kisah di ujung senja yang semakin memerah.

(Terinspirasi dari lagu “Perjalanan”, Franky & Jane)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar