Selasa, 18 Februari 2014

Cerpen ke lima belas



SEPENGGAL CERITA SORE
Usai shalat Ashar berjamaah dan berdo’a, anak-anak SMP IT Bina Insan berhamburan keluar dari masjid An-Nahl. Ada yang langsung menuju gerbang sekolah, ada yang menuju ke tempat parkir sepeda, ada pula yang masih duduk-duduk di serambi masjid sembari menunggu jemputan. Suasana halaman SMP IT Bina Insan sore itu menjadi sangat riuh.
Tiga puluh menit berlalu. Keriuhan suasana di SMP IT Bina Insan semakin berkurang. Hanya tinggal beberapa gelintir anak yang masih menunggu jemputan. Di salah satu sudut serambi masjid, tampak dua anak perempuan tengah asyik mengobrol. Nadia dan Talitha. Mereka juga masih menunggu jemputan. Tak berapa lama, sebuah sepeda motor berhenti tepat di gerbang sekolah.Talitha sudah dijemput ayahnya. Mereka pun menyudahi orolan mereka.
“Nadia, maaf, ya… Aku pulang dulu,” kata Thalita berpamitan.
“Ya, nggak pa-pa. Sebentar lagi juga pasti Kak Diana datang menjemput,” jawab Nadia.
Thalita mengucap salam dan segera melangkahkan kaki ke gerbang sekolah. Ia melambaikan tangan pada Nadia sebelum berlalu dari pandangan Nadia.
Nadia kini duduk termangu seorang diri. Tak ada lagi yang tampak berlalu lalang di SMP IT Bina Insan. Suasana jadi sangat sepi. Hanya tinggal desau angin yang kadang-kadang bertiup, menerbangkan debu-debu dan daun-daun mahoni kering di halaman sekolah. Nadia mulai resah karena kakaknya tak juga muncul di gerbang sekolah. Untuk membunuh waktu, diambilnya Novel Remaja Islami yang dipinjamnya dari perpustakaan siang tadi. Namun, baru beberapa menit kebosanan telah melanda. Ia pun menutup kembali novelnya.
Nadia mendengus pelan dan melirik arloji di tangan kirinya. Pukul 3 lewat 46 menit. Dialihkannya pandangan ke pintu gerbang sekolahnya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda sepeda motor kakaknya menunggu di sana. Nadia meraih tasnya. Dilihatnya saku tas bagian depan. Ah, masih ada cukup uang untuk naik bus, batin Nadia. Seperti kesepakatannya dulu dengan kakaknya, jika dalam dua jam jemputan tidak datang, maka Nadia harus naik bus. Nadia pun memutuskan untuk naik bus, jika lima belas menit lagi jemputan tidak datang. Dibukanya kembali novel yang masih ada di pangkuannya.
Lima belas menit berlalu. Nadia mulai kesal dengan kenyataan bahwa dirinya masih duduk seorang diri di serambi masjid menunggu jemputan. Ia menutup novel yang belum selesai dibacanya dan memasukkannya kembali dalam tas. Dihelanya nafas, sambil mencoba berbaik sangka bahwa mungkin Kak Diana ada acara di kampus, sehingga terlambat menjemput. Nadia beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah. Ia harus naik bus hari ini. Ia butuh waktu sepuluh menit untuk berjalan kaki ke halte bus.
Nadia melangkahkan kaki ke arah barat, menantang mentari sore di musim kemarau. Meskipun matahari telah menggelincir ke ufuk barat, namun sinarnya masih menyilaukan mata dan hangatnya masih sedikit terasa. Nadia sesekali menundukkan mukanya atau mengangkat tangan ke dahinya, untuk menghindari sinar mentari sore yang menyilaukan.
Halte bus di tepi jalan besar itu terlihat sepi. Tak ada yang menunggu bus sore ini. Nadia duduk di salah satu sudut halte dan mengambil novel yang belum selesai dibacanya dari dalam tas. Nadia membaca novel sambil lalu, tanpa konsentrasi penuh. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada seorang lelaki tua yang berjalan kaki ke arah halte bus. Wajah lelaki tua itu tampak tidak ramah. Pakaiannya kumal. Di bahu kanannya terselempang sebuah tas yang tak kalah kumalnya dan di kakinya terpasang sandal jepit lusuh beda warna. Dari pakaian yang dikenakannya, Nadia dapat menebak jika lelaki tua itu adalah pengemis. Tapi, dari mukanya yang tidak ramah….? Ah.., ada sedikit ketakutan di hati Nadia. Namun tanpa disangka-sangka, lelaki tua itu mendekatinya dan memanggilnya dengan tidak ramah.
“Mbak!”
Nyali Nadia menciut. Lelaki tua itu mendekat dan mengulurkan tangannya ke depan Nadia.
“Mbak, minta uang!” kata lelaki tua itu kemudian.
Dengan gemetar, Nadia meletakkan novelnya dan segera merogoh saku tasnya. Ada koin lima ratus rupiah di sana. Nadia segera memberikan koin lima ratus itu pada lelaki tua di depannya.
“Ma-ma’af, Pak. Cuma ada ini,” kata Nadia terbata-bata.
“Ya!” jawab lelaki tua itu.
Dia menerima uang dari Nadia dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian lelaki tua itu terlihat mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah barang berwarna hijau, yang Nadia kenali sebagai…. Shampoo sachet!!
“Ini!” Lelaki tua itu menyerahkan satu sachet shampoo pada Nadia. Nadia bingung. Dia menolak. Tapi lelaki tua itu memaksanya.
“Ng..Nggak usah, Pak..”
“Nggak! Harus diterima!”
Nadia menerima shampoo yang diberikan lelaki tua itu. Lelaki tua itu pun segera berlalu dari hadapan Nadia, yang masih terbengong-bengong dengan sikap lelaki tua itu. Itu tadi pengemis atau apa, ya? Batin Nadia sambil memperhatikan lelaki tua yang terus berjalan menjauh.
Belum hilang rasa heran Nadia, sebuah bus sudah berhenti tepat di depannya. Nadia segera masuk ke dalam bus. Dan bus pun segera berjalan kembali. Nadia memandang lelaki tua itu dari dalam bus. Lelaki tua itu terus melangkahkan kakinya menyusuri trotoar, tanpa mempedulikan sekitarnya.
Mentari sore semakin dekat ke peraduannya. Sementara daun-daun Angsana kering yang berguguran di sepanjang trotoar beterbangan tertiup udara yang berhembus. Dan bus yang ditumpangi Nadia terus berjalan. Menjauh, meninggalkan sepenggal cerita sore yang cukup mengesankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar